Tekan Defisit, Lobi Perjanjian Dagang Harus Tuntas Akhir 2019
- ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan
VIVA – Lobi dagang ke negara non tradisional yang tengah digencarkan pemerintah dipandang dapat mereduksi risiko di tengah perang dagang. Untuk itu, Free Trade Agreement (FTA) maupun Preferential Trade Agreement (PTA) ke pasar baru diharapkan bisa segera diselesaikan sampai akhir tahun nanti.
Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Danang Girindrawardana, menyatakan, visi dari pembuatan FTA dan PTA amatlah bagus karena bisa menjaring potensi pasar yang lebih besar guna mengganti hilangnya nilai ekspor ke Amerika Serikat (AS) maupun China.
"Kita akan lebih mudah berdagang dengan negara-negara yang mempunyai perjanjian dagang dengan Indonesia," ujar Danang dalam keterangannya, dikutip Selasa 30 Juli 2019.
Danang mengungkapkan, saat ini sudah banyak perjanjian dagang yang digagas dan diupayakan Menteri Perdagangan, Enggartiasto Lukita. Namun, banyak di antaranya juga yang belum selesai.
Dengan demikian, ia berharap sampai akhir tahun, perjanjian dagang ke negara-negara seperti Rusia, Asia Tengah, dan Asia Selatan bisa segera diselesaikan dan diimplementasikan.
"Kalau kita bisa dagang ke mereka dengan lebih baik, bisa mengatasi masalah-masalah hubungan dengan Uni Eropa juga," ujarnya.
Pentingnya peningkatan penetrasi dagang ke negara non tradisional penting dilakukan guna memperbaiki neraca dagang. Selain itu, upaya tersebut diharapkan bisa mengurangi ketergantungan perdagangan dengan China dan AS.
“Kalau tidak ada pembukaan pasar, kita semakin terpuruk. Artinya trade balance kita semakin merenggang karena dominasi kita ke AS kan tinggi ya,” ujarnya.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, China dan Amerika Serikat masih menjadi pasar utama Indonesia. Di mana pada paruh waktu 2019 total ekspor RI ke China mencapai US$11,40 miliar dan ekspor ke AS US$8,33 miliar.
Dengan demikian, total nilai ekspor Indonesia ke kedua negara tersebut mencapai 26,59 persen dari total ekspor Indonesia sepanjang semester I-2019.