Perlu Solusi Regulator, Kisruh Pengambilalihan Paksa Emiten Memuncak

Mahasiswa melintas di depan layar pergerakan saham di Bursa Efek Indonesia, Jakarta
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso

VIVA – Pengambilalihan paksa kontrol atau hostile takeover di PT Jababeka Tbk, atau KIJA semakin ricuh. Puncaknya adalah adanya dualisme kepemimpinan di emiten tersebut. Kondisi itu, dinilai bisa menyebabkan dampak negatif yang mengorbankan kinerja perusahaan tersebut.

Pendapatan Naik, Emiten Produsen Bahan Kimia Ini Cetak Laba Bersih Rp 4 Miliar di Kuartal III-2024

Head of Research Department Koneksi Capital, Alfred Nainggolan mengatakan, kisruh yang terjadi pada emiten KIJA, tentunya memengaruhi kegiatan operasional perusahaan, selain itu berpengaruh juga ke kinerja perusahaan.

Ricuh tersebut membuat pemegang saham publik, khususnya minoritas di bawah lima persen, yang tidak memiliki kepentingan atas penguasaan di manajemen dan juga tidak punya suara yang signifikan dalam perselisihan ini akan sangat dirugikan.

IICD Beri Apresiasi Perusahaan Emiten BEI yang Sukses Terapkan GCG

"Di sinilah, kewajiban regulator untuk turun tangan dalam masalah ini, dan mencarikan solusi terbaik,” kata Alfred dalam keterangannya, dikutip Senin 29 Juli 2019.

Menurut dia, regulator berkewajiban memberikan acuan penyelesaian konflik secara adil. Sebab, pada kondisi dualisme kepemimpinan perusahaan, proses administrasi terganggu, dan sudah pasti aktivitas pihak eksternal seperti kreditur, pembeli, dan supplier terhadap perusahaan terganggu, dan berujung pada potensi hilangnya kesempatan perolehan pendapatan ke depan.

OJK Ungkap Peringkat Corporate Governance RI di Asean Masih Posisi 5

"Dan, tentu kondisi ini meningkatkan risiko kelangsungan perusahaan dan menurunkan nilai perusahaannya (nilai sahamnya)," jelasnya.

Alfred menilai, solusi dari regulator menjadi hal penting yang mendesak, termasuk opsi RUPS diulang. 

“Ini sudah masuk ke ranah aturan hukum. Namun, jika melihat peran RUPS sebagai kekuasaan tertinggi dalam pengambilan keputusan sebuah PT, maka perlu RUPS yang diakui oleh pihak yang bertikai, sehingga keputusan dari pemegang saham secara keseluruhan dalam penetapan kepemimpinan perusahaan bisa disepakati,” jelasnya.

Seperti diketahui, belakangan ini aksi hostile takeover marak di pasar modal Indonesia. Sebut saja, PT Pilar Sejahtera Food Tbk (AISA) dan terakhir PT Jababeka Tbk (KIJA) 

Ketua Masyarakat Investor Sekuritas Indonesia (MISSI), Sanusi mengatakan, sebaiknya Otoritas Jasa Keuangan (OJK) maupun Bursa Efek Indonesia (BEI) mengatur lebih jauh mekanisme pemegang saham publik bisa terlibat dalam susunan manajemen perseroan, apabila jumlah saham publik lebih besar dalam satu perusahaan terbuka. 

“Asalkan yang dilibatkan murni pemegang saham publik yang berkumpul, bukan pemegang saham lainnya yang berniat untuk mengambil alih suatu perusahaan,” katanya.

Dia menilai, hal ini perlu dilakukan, agar seluruh tindakan manajemen perseroan bisa berjalan dengan baik sesuai dengan kepentingan seluruh pemegang saham. 

Langkah ini, lanjut dia, juga bertujuan agar perubahan manajemen maupun aksi perseroan bisa dilaksanakan dengan mulus, sehingga tidak merugikan kepentingan pemegang saham publik.

"Di luar negeri ada istilah proxy, yaitu sebagian besar pemegang saham publik bisa memberikan masukan terhadap perusahaan. Proxy memungkinkan pemegang saham investor publik bisa terlihat dalam mengontrol jalannya perusahaan," jelasnya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya