Indef Sebut Defisit Migas Belum Bisa Dihindari
- ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay
VIVA – Defisit minyak dan gas bumi (migas) terus menghantui neraca perdagangan Indonesia. Kebutuhan akan energi minyak dan gas bumi yang tinggi di tengah-tengah masyarakat, di tambah produksi yang minim, membuat impor migas setiap tahun selalu membebani neraca perdagangan Indonesia.
Direktur Eksekutif Institute for Develompent of Economics and Finance atau Indef, Tauhid Ahmad, mengatakan bahwa kondisi itu yang menyebabkan defisit migas di Indonesia tidak bisa di hindari.
Tercatat, defisit migas pada Januari-Juni 2019 mencapai US$4,78 miliar, meski sedikit turun dari catat periode yang sama tahun sebelumnya sebesar US$5,61 miliar.
"Meski demikian, melihat perkiraan kebutuhan bulanan yang besar maka diperkirakan defisit migas hingga akhir tahun 2019 akan tembus di atas US$10 miliar. Ini artinya bahwa defisit ini akan semakin terus terjadi sepanjang produksi migas kita tetap rendah," katanya dalam diskusi online Indef, Minggu 28 Juli 2019.
Namun begitu, dia mengungkapkan, perkembangan defisit atau impor migas itu juga lebih dominan dipengaruhi nilai impor ketimbang volume impornya. Terlihat bahwa volume impor tetap pada angka 49-50 juta ton pada periode 2013 hingga 2018. Namun nilai impornya sangat bervariasi dimana pada tahun 2013 nilai impor berada pada US$45,26 miliar menjadi US$29,8 miliar pada 2018.
"Ini artinya bahwa faktor harga minyak mentah dan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS menjadi faktor penentu naik turunnya nilai impor yang pada gilirannya menjadi faktor penentu defisit migas dapat melonjak naik maupun turun," katanya.
Karena itu, Tauhid menilai bahwa untuk menekan defisit tersebut, di luar persoalan harga minyak mentah dan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, maka salah satu kuncinya adalah meningkatkan produksi dalam negeri dan mengurangi impor.
Akan tetapi, peningkatan produksi tampaknya masih butuh waktu panjang mengingat lelang blok migas dalam periode 2015-2016 tidak ada yang laku sementara tahun 2017-2019 telah laku 16 blok dengan metode gross split. Seluruh blok tersebut baru akan bisa berproduksi minimal tujuh tahun sejak eksplorasi dimulai.
Karena itu, jangka menengah adalah mengembangkan refinery plant, mengingat hampir sebagian impor migas Indonesia yakni 25-26 juta ton dalam bentuk hasil minyak olahan. Artinya, lanjut Tauhid, Indonesia punya peluang dari ekspor minyak mentah yang berkisar 15 juta ton untuk diolah di dalam negeri, ketimbang diekspor kemudian masuk ke dalam negeri dalam bentuk hasil minyak olahan.
"Termasuk mengolah kurang lebih 17 juta ton impor minyak mentah. Karena itu, perlunya pemerintah serius menangani ini mengingat refinery unit (RU) yang dimiliki Pertamina masih terbatas, baik yang berada di Dumai, Plaju, Cilacap, Balikpapan, Balongan dan Kasim," ujar Tauhid.
Selanjutnya, adalah mengurangi impor, salah satunya solar. Penghentian impor solar juga salah satu kunci, termasuk penggunaan substitusinya dengan biodesel B30 untuk ke depannya. Namun ini akan berhasil apabila industri juga turut mendukung, seperti peralihan industri ataupun kendaraan otomotif yang adapat adaptif menggunakan B30. (ren)