OECD Prediksi Lima Tahun ke Depan Ekonomi Asia Melambat
- BusinessInsider
VIVA – Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi atau OECD, memperkirakan pertumbuhan ekonomi Asia, akan mengalami perlambatan pertumbuhan dalam lima tahun ke depan. Terutama, dipengaruhi melambatnya iklim perdagangan akibat perang tarif.
Head of Asia Desk OECD's Development Center, Kensuke Tanaka menjelaskan, pada periode 2019-2023, rata-rata pertumbuhan ekonomi di Asia hanya akan tumbuh 6,1 persen, lebih lambat ketimbang pertumbuhan lima tahunan sebelumnya pada 2012-2016, yang tumbuh 6,8 persen.
Hal Itu dipengaruhi melambatnya pertumbuhan ekonomi dua negara besar Asia, yakni China dan Singapura, yang akan mengalami perlambatan pertumbuhan masing-masing menjadi 5,9 persen dan 2,7 persen, dari sebelumnya 7,3 persen dan 3,5 persen.
Meski begitu, Kensuke mengatakan, pertumbuhan tinggi masih akan dialami oleh India, di mana pada periode 2019-2023, pertumbuhannya mencapai 7,3 persen, lebih cepat ketimbang pertumbuhan rata-rata lima tahun sebelumnya yang di kisaran 6,9 persen.
"Permintaan domestik diperkirakan momentumnya akan berlanjut, terutama pengeluaran rumah tangga. Namun, perdagangan menghadapi ketidakpastian yang berlebih akibat meluasnya perang tarif," katanya di kawasan Salemba, Jakarta, Kamis 11 April 2019.
Namun, Tanaka mengungkapkan, perlambatan pertumbuhan itu tidak akan terjadi bagi perekonomian negara-negara Asia Tenggara atau ASEAN.
Menurutnya, pada periode 2019-2023 OECD memperkirakan bahwa pertumbuhan ekonomi Asia Tenggara, bakal berada di kisaran 5,2 persen, lebih cepat dari periode 2012-2016 yang sebesar 5,1 persen.
Thailand dan Vietnam, diperkirakan masih akan mengalami pertumbuhan yang signifikan, di mana masing-masing tumbuh 3,7 persen dan 6,5 persen, lebih cepat dibanding periode sebelumnya yang sebesar 3,4 persen dan 5,9 persen.
Sementara itu, Indonesia dan Filipina mengalami stagnansi pertumbuhan. Masing-masing pertumbuhan diperkirakannya bakal di kisaran 5,3 persen dan 6,6 persen. Sedangkan Malaysia, harus mengalami perlambatan di posisi 4,6 persen dari yang periode sebelumnya mampu tumbuh 5,1 persen.
"Kebanyakan otoritas moneter di kawasan telah menaikkan suku bunga acuannya untuk mengimbangi kebijakan normalisasi moneter di negara-negara ekonomi maju. Namun, kebijakan itu diimbangi dengan kebijakan pelonggaran likuiditas untuk mendorong pertumbuhan. Posisi fiskal kawasan juga terjaga stabil," tegasnya. (asp)