Disparitas Harga Picu Dugaan Adanya Kartel Garam

Pekerja memanen garam di Desa Bunder, Pamekasan, Jawa Timur
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Saiful Bahri

VIVA – Direktur Jenderal Pengelolaan Ruang Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan, Brahmantya Satyamurti Poerwadie menjelaskan, adanya potensi dan dugaan kartel garam yang menguasai pasar, disebabkan perbedaan harga garam dalam negeri dan garam hasil impor.

Masakan Keasinan? Tenang, Ini Trik Mudah Mengatasinya dengan 1 Bahan Simpel!

Dia menjelaskan, harga garam impor yang jauh lebih murah dibandingkan harga garam lokal, kerap dibarengi dengan masuknya garam impor ke pasar Indonesia pada saat penambak garam sedang panen.

“Dasarnya adalah disparitas harga yang tinggi. Kita harus akui, garam rakyat prosesnya padat karya dan juga titik suplainya dari lahan garam ke gudang itu ada beberapa tambahan biaya,” ujar Brahmantya di kantornya, kawasan Gambir, Jakarta Pusat, Jumat 1 Maret 2019.

Angka Kematian Penyakit Jantung di Indonesia Capai 650 Ribu, Dokter Ungkap Pemicu Utama Hipertensi

Ia menjelaskan, alasan harga garam impor kerap lebih murah dari garam lokal. Sebab, umumnya garam impor diproses menggunakan teknik mesin, sehingga produksi garam bisa dipanen dari puluhan ribu hektare lahan dalam sekali panen.

Perbedaan harga yang jauh itu, lanjut Brahmantya, memungkinkan adanya kartel garam yang masuk ke Indonesia, untuk menguasai pasar. Karena, biaya produksinya masih jauh lebih murah dibandingkan garam lokal.

Dianggap Picu Obesitas Hingga Bikin Bodoh, Ahli Gizi Ungkap Manfaat MSG Jika Dikonsumsi Secukupnya

“Untuk garam impor, harga landing di sini aja Rp800 dan kalau lihat luasan lahan di luar negeri itu kan modelnya mekanisasi, satu hamparan luas bisa 10 ribu hektare," katanya.

"Jadi, cost produksinya masih sangat rendah saat sampai di Indonesia. Disparitas harga ini yang cenderung membuat orang untuk tadi (melakukan kartelisasi),” tambahnya.

Diketahui, pengajuan impor secara berkelompok yang dilakukan oleh para perusahaan terkait, dinilai melanggar pasal 11 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

Di mana, para pelaku usaha dilarang melakukan perjanjian atau kesepakatan, yang bertujuan memengaruhi harga. Sementara itu, dugaan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) pihak-pihak itu telah memengaruhi harga dan menjual harga garam jauh di atas harga pokok produksi.

Kasus tersebut bergulir pada tahun 2013-2016, dan melibatkan tujuh importir yang menjadi terlapor yaitu: 

1. Terlapor satu, yaitu PT Garindro Sejahtera Abadi.
2. Terlapor dua, yaitu PT Susanti Megah.
3. Terlapor tiga, yaitu PT Niaga Garam Cemerlang.
4. Terlapor empat, yaitu PT Unichem Candi Indonesia.
5. Terlapor lima, yaitu PT Cheetham Garam Indonesia.
6. Terlapor enam, yaitu PT Budiono Madura Bangun Persada.
7. Terlapor tujuh, yaitu PT Sumatraco Langgeng Makmur. (asp)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya