Kadar Air dan Harga Tinggi Jadi Sebab Impor Jagung Diperlukan
VIVA – Peneliti dari Visi Teliti Saksama, Nanug Pratomo mengungkapkan, impor jagung, khususnya untuk pakan ternak yang dilakukan pemerintahan Joko Widodo pada 2018, dan terus menjadi sorotan publik, merupakan keputusan yang wajar.
Dia beralasan, itu karena jagung untuk pakan ternak yang diproduksi oleh petani jagung domestik memiliki beberapa kelemahan dibanding yang berasal dari impor. Yakni, kadar airnya yang sangat tinggi mencapai 15 persen, hingga harganya yang juga masih lebih tinggi.
"Jagung yang dihasilkan domestik, sering kali menghadapi kendala, terutama kadar air yang dibilang industri pakan tinggi. Kedua harga masih terlalu tinggi, industri pakan dan peternak mengeluhkan mengenai harga jagung yang masih tinggi," katanya dalam sebuah diskusi di Gedung Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Jakarta, Kamis 21 Februari 2019.
Tingginya harga jagung pakan domestik yang tinggi itu, diungkapkannya, tidak terlepas dari masih panjangnya rantai pasokannya. Mulai dari petani sendiri, kemudian dikumpulkan kepada para pengepul, baru masuk ke pedagang besar, pengecer, hingga ke konsumen.
"Panjangnya rantai distribusi ini lah yang jadi penyebab, kenapa harga jagung sangat fluktuatif dan dinilai menjadi tinggi. Ini jadi PR (pekerjaan rumah) kita kalau benar-benar mau swasembada jagung," tegasnya.
Di samping itu, kata dia, untuk data produksi dengan permintaan sendiri terkait jagung hingga 2029, diperkirakan terus mengalami defisit. Di mana, produksi meski meningkat, namun hanya mencapai 30 ribu ton. Sementara itu, permintaan untuk jagung itu sendiri mencapai 50 ribu ton di periode itu.
"Produksi jagung kita mulai 2014 sampai 2018, memang beberapa tahun terakhir ini trennya alami peningkatan. Tetapi, persoalannya bisa penuhi kebutuhan dalam negeri atau tidak," ujar dia. (asp)