Minim Barang Olahan, Defisit Perdagangan Januari Makin Dalam
VIVA – Neraca perdagangan Indonesia pada Januari 2019, mengalami defisit sebesar US$1,16 miliar. Defisit tersebut semakin dalam, sejak alami defisit ekspor impor pada Januari 2013, yang sebesar US$74,7 juta.
Sebelum itu, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa periode Januari, terus mengalami surplus. Catatan terakhir, surplus Januari terjadi pada 2008, yang mencapai US$1,5 miliar.
Surplus, kemudian berlanjut hingga Januari 2012, sebesar US$1,01 miliar. Adapun sepanjang periode itu, surplus terbesar terjadi pada Januari 2010, yang mencapai US$2,1 miliar.
Sementara itu, defisit neraca perdagangan yang mulai terjadi pada Januari 2013, kembali terulang pada Januari 2014, yang sebesar US$444 juta, kemudian berlanjut pada Januari 2018 sebesar US$756 juta, dan berlanjut semakin dalam pada Januari 2019, sebesar US$1,16 miliar.
"Saya punya sampai 2014, kalau perlu lain nanti. Tetapi, tadi sejak Januari 2013 itu berarti terbesar defisitnya," kata Kepala BPS, Suhariyanto, saat ditemui di kantornya, Jakarta, Jumat 15 Februari 2019.
Menurut Suhariyanto, defisit neraca perdagangan pada Januari 2019, menjadi yang terbesar karena gejolak perekonomian global terus memberikan dampak negatif bagi perdagangan internasional, termasuk perdagangan Indonesia, dengan negara-negara mitra dagang utamanya.
Akhirnya, kata dia, selama masa pemerintahan Presiden Joko Widodo yang menjabat sejak 2014, neraca perdagangan menjadi yang terburuk di awal bulan penghujung tahun ia menjabat.
Terlebih, dikatakannya, komposisi ekspor Indonesia belum berubah, yakni masih di dominasi oleh barang-barang komoditas yang sangat sensitif terhadap perkembangan harga global.
"Jadi, lebih karena harga komoditas yang enggak pasti. Dan, ini semua kalau kita lihat dari prediksi sampai Desember 2019, dia akan cenderung menurun," tegasnya.
Dia mencontohkan, terkait komoditas minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) yang merupakan komoditas utama ekspor Indonesia, harus mengalami penurunan kinerja ekspor, meski dari sisi volumenya meningkat 23,77 persen. Namun, karena harganya jatuh mencapai 13,56 persen, kinerjanya jatuh yang tercermin turunnya ekspor golongan barang lemak dan minyak hewan atau nabati mencapai 9,56 persen.
"Juga di sana batu bara, harga turun 7,76 persen, volume naik 14,56 persen. Tetapi, karena harga turun, dia turun total ekspornya. Kalau karet, karena volume dan harganya turun, yakni 8,8 persen dan 7,56 persen itu sebabkan karet dan barang dari karet turun cukup dalam," tegasnya.
Karenanya, kata dia, untuk mengantisipasi hal itu, maka pemerintah mesti mengganti komponen ekspor Indonesia dari yang bersumber barang komoditas menjadi barang-barang olahan. Sebab, barang olahan bisa memberikan nilai tambah bagi produk ekspor Indonesia.
"Karena itu, harus industri pengolahan kuncinya di sana. Bagaimana itu diolah dulu, mendapatkan nilai tambah, sehingga tidak dipengaruhi harga komoditas. Kita sangat sadar ke sana dan sebetulnya pemerintah di bawah pak Menko Perekonomian (Darmin Nasution) sudah buat road map untuk itu," ujarnya. (asp)