Ekonom Sebut Penggunaan Utang Negara di Era Jokowi Tidak Jelas
- VIVA.co.id/KBRI Yangon
VIVA – Calon Presiden nomor urut 02 Prabowo Subianto melontarkan pernyataan yang cukup kontroversial. Ia menyinggung penyebutan Menteri Keuangan agar diganti menjadi Menteri Pencetak Utang.
Menanggapi itu, Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Aviliani mengatakan, terkait masalah utang sebetulnya selama tidak melewati batas yang ditetapkan dalam Undang-Undang Keuangan Negara maka tidak ada persoalan. Namun menurutnya, utang juga harus dijelaskan penggunaannya untuk apa.
"Utang itu dalam ekonomi akan dibandingkan GDP (Gross Domestic Product), selama utang tidak lampaui batas tidak apa-apa. Tapi memang gampang dikritik karena utang tidak berdasarkan (digunakan) untuk apa," kata Aviliani di Jakarta, Senin, 28 Januari 2019.
Menurut dia, utang yang diterbitkan pemerintah seperti Surat Berharga Negara juga harus jelas peruntukannya. Sebab, selama Pemerintah Jokowi-JK, kata dia, penggunaan utang tidak dijelaskan secara spesifik.
"Mungkin perlu dikembalikan di mana utang itu mesti untuk infrastruktur, tidak boleh untuk mengentaskan kemiskinan. Kalau sekarang bisa diplesetkan utang untuk kemiskinan karena tidak ada alokasi yang jelas," kata dia.
Sebelum Undang-undang Keuangan Nomor 17 Tahun 2003, kata dia, setiap utang yang diterbitkan pemerintah selalu spesifik untuk proyek tertentu. "Jadi orang beli (Surat utang) FR21 atau apa, jadi tahu untuk proyek di mana. Sekarang lebih umum pokoknya utang," ujar dia.
Untuk itu, Aviliani menegaskan, saat ini diperlukan perbaikan sistem pengelolaan utang. Artinya harus jelas alokasi penggunaan utang tersebut untuk proyek apa.
"Sehingga untuk pembayarannya pun itu juga jelas alokasinya untuk cash flow. Multiplier ekonomi untuk apa sih? Jadi kalau tidak multiplier tidak perlu utang," katanya.
Prinsip utang, ditegaskan dia, harus memberikan multiplier effect atau efek berganda terhadap ekonomi. "Kalau tidak multiplier ekonomi, ketika jatuh tempo malah tidak bisa bayar utang. Prinsip utang adalah yang bisa menghasilkan efek multiplier ekonomi," katanya.
Namun, secara rasio, ia mengatakan masih aman, sebab Produk Domestik Bruto Indonesia terus meningkat. Saat ini, rasio utang pemerintah pusat terhadap PDB nyaris mencapai 30 persen. "Sekarang masih aman. Kalau negara Eropa malah 100 persen utang lebih besar dari GDP," katanya. (ase)