Revitalisasi Pabrik Setengah Hati buat Impor Gula Bengkak
- VIVA.co.id/Fajar Sodiq
VIVA – Ketergantungan Indonesia akan gula impor tak bisa dihindari, akibat dari masih mendominasinya mesin-mesin pabrik gula yang sudah berumur ratusan tahun. Bahkan, peruntukan lahan pertanian masih menjadi kendala saat ini.
Terlebih, kebutuhan masyarakat terhadap gula terus tumbuh dan tak dapat dipenuhi oleh industri gula dalam negeri yang rata-rata masih dimiliki oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN), sehingga menjadi terbatas.
Ekonom dari Universitas Gadjah Mada, Revrisond Baswir mengungkapkan, tak efisiennya pabrik-pabrik gula tua tersebut membuat harga menjadi tiga hingga empat kali lebih mahal dari gula impor sehingga tidak laku di pasaran.
Bahkan, langkah pemerintah yang tak kunjung melakukan revitalisasi terhadap industri gula secara komprehensif telah mendapatkan kritik dari sejumlah ekonom dan pelaku pasar.
“Yang tua itu kan pabrik-pabrik gula BUMN. Revitalisasi pabrik kelihatan setengah hati. Cuma revitalisasi di bagian apa, terus di bagian apa. Harusnya, revitalisasi menyeluruh,” ujar Revrisond dalam keterangannya dikutip Jumat 18 Januari 2019.
Untuk diketahui, harga gula lokal sampai November 2018, sebesar tiga kali lipat dibandingkan dengan harga gula dunia. Harga gula lokal mencapai Rp12.163 per kilogram, sedangkan rata-rata harga gula mentah dunia hanya Rp4.000.
Soal revitalisasi menyeluruh, Revrisond berpandangan, kondisi tersebut sulit dilakukan, sebab investor akan cenderung ragu melihat produksi tebu nasional yang dipandang tidak akan mencukupi kebutuhan pabrik gula sendiri.
"Selama ini kan, lahan tebu itu masih bercampur-campur. Jarang yang lahan tebu doang tanpa ditanami apa-apa lagi," ujarnya.
Selain itu, perluasan lahan pun menjadi muskil dilakukan. Melihat dari kecenderungan Kementerian Pertanian yang abai terhadap masalah produksi tebu nasional ini. "Perhatian Kementerian Pertanian masih minim ya soal gula ini,” tegasnya.
Dilihat dari Statistik Perkebunan Indonesia Komoditas Tebu 2015-2017, lahan perkebunan tebu dalam periode 2008-2017 tak banyak mengalami perubahan.
Pada periode tersebut, luas rata-rata mencapai 454.782 hektare, dengan luasan tertinggi pada 2014 yakni 478.108 hektare dan luasan terendah pada 2009 seluas 441.440 hektare.
Dari luasan tersebut, rata-rata produksi pada periode yang sama adalah 246 juta ton.
Sementara itu, Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat nilai impor gula tertinggi pada 2016, yakni mencapai US$2,09 miliar, melonjak dari 2015 sebesar US$1,25 miliar. Pada 2017 dan 2018, nilai impor sedikit menyusut menjadi US$2,07 miliar dan US$1,79 miliar.
Indonesia Pengimpor Gula Terbesar
Sedangkan, diberitakan VIVA sebelumnya, Ekonom Senior Indef, Faisal Basri mengkritik kebijakan pemerintah dan menyebut Indonesia telah menjadi negara pengimpor gula terbesar di dunia.
Ia mengatakan bahwa saat ini, posisi Indonesia telah menyalip Amerika Serikat dan China. Biasanya, Indonesia selalu berada di peringkat ketiga atau keempat sebagai pengimpor gula terbesar.
"Saya kaget juga, melihat data statistik bahwa Indonesia sudah menjadi importir terbesar di dunia. Sebelumnya, kan enggak terbesar," kata Faisal di acara diskusi 'Manisnya Rente Impor Gula' di ITS Tower, Pasar Minggu, Jakarta, Senin 14 Januari 2019.
Ia menjelaskan, impor gula itu memang meningkat sejak 2009, atau sejak pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Namun, dia menegaskan bahwa peningkatan impor gula tertinggi itu terjadi pada 2016.
“Meroket 2016. Saat Enggar jadi Mendag (Menteri Perdagangan), tahun berapa? Nah, semenjak Enggar itulah, jadi saya sebut nama aja. Nih, panjat tebing aja kalah," ujar Faisal. (asp)