Prabowo Ingin Tax Ratio Naik untuk Gaji PNS, Pengamat: Bisa Gaduh

Pasangan nomor urut 02 Prabowo Subianto (kiri) dan Sandiaga Uno mengikuti debat pertama Pilpres 2019, di Hotel Bidakara, Jakarta, Kamis, 17 Januari 2019.
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan

VIVA – Direktur Eksekutif Center For Indonesia Taxation Analysis (CITA), Yustinus Prastowo menilai, janji calon presiden dan wakil presiden nomor urut 02, Prabowo Subianto-Sandiaga Uno yang bakal menaikkan tax ratio hingga 16 persen demi menaikkan gaji pegawai negeri sipil atau PNS, tidaklah realistis dan proporsional.

Bahlil: Saya yang Usulkan Pilpres 2024 Ditunda Ketika Jadi Menteri Investasi, bukan Jokowi

Menurut dia, itu karena strategi-strategi pajak yang digulirkan Prabowo-Sandi selama ini tidak sejalan dengan upaya untuk menaikkan tax ratio. 

Misalnya, mengusulkan penurunan tarif Pajak Penghasilan atau PPh, baik PPh Badan maupun orang pribadi, termasuk penghapusan PBB rumah pertama, penghapusan pajak sepeda motor, dan pembebasan pajak UMKM pelaku bisnis digital untuk dua tahun pertama.

Kader Gerindra Banten Bakal Ramaikan Pelantikan Prabowo Subianto sebagai Presiden di Jakarta

"Artinya, hasrat menggenjot tax ratio dalam jangka pendek jelas hanya bisa bertumpu pada kenaikan tarif pajak, bukan sebaliknya. Penurunan tarif pajak dalam jangka pendek akan menurunkan penerimaan, apalagi tingkat kepatuhan kita masih rendah dan basis pajak kita belum bertambah signifikan," kata Yustinus kepada VIVA, Jumat 18 Januari 2019.

Dia menilai, peningkatan tax ratio yang selama ini dilakukan pemerintahan Jokowi-JK, cenderung lebih realistis, yakni melakukan tax reform seperti perbaikan regulasi, proses bisnis, sistem administrasi, tata organisasi, dan SDM, dengan target tax ratio yang di naikkan secara bertahap atau gradual-proporsional. 

BRI Dorong UMKM Naik Kelas dan Diformalkan untuk Angkat Tax Ratio

Pertimbangannya, lanjut dia, membangun sistem pajak pertama-tama harus membangun ekosistem dan lingkungan yang kondusif, agar racikan antara peningkatan kepatuhan wajib pajak, perbaikan kualitas regulasi, penyempurnaan administrasi, peningkatan mutu sumber daya, dan perbaikan iklim berusaha berjalan beriringan.

"Ini perkara mengurus negara, bukan sekadar mengurus perusahaan yang bisa dilakukan dengan coba-coba dan obral janji manis yang tak rasional. Semoga publik terus bersemangat menguji rasionalitas gagasan dan program para capres, termasuk menggali lebih lanjut apa yang akan dilakukan Presiden Jokowi di sisa jabatan, dan pasangan Jokowi-Makruf Amin jika diberi mandat memimpin negara," katanya.

Sementara itu, peningkatan tax ratio untuk diarahkan menaikkan gaji PNS atau Aparatur Sipil Negara (ASN) menurutnya bukanlah kebijakan yang proporsional. 

Sebab kata dia, kebijakan itu memiliki makna bahwa masyarakat didorong untuk patuh membayar pajak hanya untuk meningkatkan bayaran pelayannya, atau ASN tersebut maupun aparat penegak hukum.

"Logika sederhana, pemerintah ingin menarik pajak lebih besar dari rakyat, untuk membiayai para aparatur negara yang tugasnya melayani kepentingan rakyat. Lalu kita bergumam, mahal benar ya mengongkosi pelayan," tegas Yustinus.

Sebagai informasi tax ratio itu sendiri adalah perbandingan antara penerimaan pajak terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Rasio itu yang sering dipakai untuk mengukur kinerja pemungutan pajak. 

Saat ini tax ratio sepanjang pemerintahan Jokowi-JK adalah 11,6 persen pada 2015, 10,8 persen pada 2016, 10,7 persen pada 2017, dan 11,5 persen pada 2018.

"PDB 2018 kurang lebih Rp14.745 triliun. Sehingga, kenaikan ke-16 persen atau naik 4,5 persen dari tax ratio 2018 sebesar 11,5 persen adalah Rp663 triliun atau 48 persen dari pendapatan negara tahun 2014. Mungkinkah dalam jangka pendek menarik pajak yang nilainya dua kali lipat kenaikan 2015-2018, tanpa menimbulkan kegaduhan dan menggencet pelaku usaha," ungkap dia. (lis)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya