Neraca Perdagangan Defisit, B20 Belum Signifikan Kurangi Impor Solar
- ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan
VIVA – Neraca perdagangan Indonesia pada November 2018, tercatat defisit sebesar US$2,05 miliar. Kontribusi terbesar disumbang oleh sektor migas, dengan total defisit US$1,46 miliar. Sedangkan non migas, juga defisit US$583 juta.
Jika diakumulasi Januari-November 2018, perdagangan RI tekor dengan nilai total US$7,52 miliar. Sektor migas lagi-lagi menjadi penyumbang terbesar dengan nilai US$12,15 miliar, sedangkan non migas secara akumulasi justru surplus US$4,64 miliar.
Pengamat ekonomi energi UGM, Fahmy Radhi mengatakan, defisit migas yang terjadi ini merupakan konsekuensi Indonesia sebagai Net Importir BBM. Memang diakui, ada upaya pemerintah menurunkan impor solar melalui B20.
"Tetapi, kapasitas produksi B20 masih kecil, sehingga belum dapat mengurangi impor solar secara signifikan," kata Fahmy kepada VIVA, Selasa 18 Desember 2018.
Menurutnya, dengan kondisi itu, maka defisit neraca migas sebetulnya juga membebani neraca pembayaran. Pada ujungnya, hal ini berpotensi menyumbang pelemahan rupiah.
"Impor BBM selalu meningkat, karena konsumsi BBM naik terus. Sedangkan produksi migas, selalu menurun. Kilang minyak, baik kilang baru maupun RDMP (Refinery Development Master Plan/Pengembangan kilang) belum juga kelar," kata dia.
Menurutnya, hal yang harus dilakukan, agar Indonesia mampu menekan impor migas adalah pembangunan kilang. "Pembangunan kilang baru, merupakan keniscayaan untuk mengurangi defisit neraca migas secara signifikan," katanya.
Berdasarkan jenis barang di sektor migas, Badan Pusat Statistik mengungkap, hasil minyak tercatat menyumbang defisit paling besar pada November 2018, yang tercatat sebesar US$1,58 miliar, kemudian disusul oleh minyak mentah dengan defisit US$476,9 juta. Sedangkan gas, masih surplus di level US$594,1 juta.