LBH Anggap OJK Malah Jadi ‘Agen’ Perusahaan Pinjaman Online

Gedung Otoritas Jasa Keuangan.
Sumber :
  • Raden Jihad Akbar / VIVA.co.id

VIVA – Lembaga Bantuan Hukum Jakarta mengaku kecewa dengan Otoritas Jasa Keuangan dalam menghadapi persoalan korban pinjaman online yang marak terjadi beberapa hari terakhir. OJK dianggap berpihak kepada perusahaan penyedia aplikasi pinjaman online atau dikenal juga fintech peer to peer landing.

OJK Ungkap Ada 14 Perusahaan Pinjol Belum Penuhi Ekuitas Minimum

LBH Jakarta membuka Pos Pengaduan Korban Pinjaman Online di sepanjang November 2018. Sebanyak 1.330 korban sudah mengadukan pelanggaran hukum dan hak asasi manusia yang mereka alami.

Berdasarkan pengaduan itu, pengacara publik Jeanny Silvia Sari Sirait mengungkapkan, OJK mengundang LBH Jakarta untuk bertemu Jumat lalu, 14 Desember 2018. 

OJK Sebut Industri Fintech RI Masih Lemah Modal hingga Kurang SDM Berkualitas

Meski begitu, dalam pertemuan di lokasi yang tidak disebutkannya itu, OJK seakan menyatakan bahwa korban berupaya untuk tidak bertanggung jawab melunasi pinjaman yang ia miliki. Padahal, korban sudah menjelaskan, walau mereka dalam kesulitan keuangan, mereka masih berupaya melunasi pinjaman.

"OJK menegaskan bahwa pelanggaran hukum dan hak asasi manusia yang korban alami tidak akan terjadi, jika korban tidak wanprestasi dalam memenuhi tanggung jawabnya melunasi pinjaman yang ia miliki," katanya dalam siaran pers yang dikutip, Minggu 16 Desember 2018.

OJK Sebut Pengembangan Industri Keuangan RI Butuh Peran Krusial Sektor Ini

Sikap itu, kata Jeanny, memperlihatkan bahwa OJK beranggapan 14 pelanggaran hukum dan hak asasi manusia yang dialami para korban adalah hal pantas, hanya karena korban wanprestasi memenuhi perjanjian utang-piutang mereka.

Jeanny menganggap, OJK malah bersikap seperti bukan lembaga negara yang melindungi warganya, tetapi memihak atau seolah menjadi agen perusahaan pinjaman online itu.

"Sikap ini, tentu saja tidak mencerminkan sikap sebuah institusi negara yang memiliki tanggung jawab memberikan perlindungan hukum dan hak asasi manusia bagi warga negaranya. Bukannya menjadi mediator dalam permasalahan ini, OJK justru memilih bersikap layaknya perwakilan penyelanggara aplikasi pinjaman online," ujarnya.

Dia mengungkapkan bahwa OJK turut meminta data nama aplikasi pinjaman online terdaftar dan data korban kepada LBH Jakarta. Namun, LBH Jakarta mengurungkan niat untuk memberikan data itu, karena sikap OJK tidak tegas.

"Hal ini dipertanyakan mengingat OJK memiliki tanggung jawab sebagaimana marwah keberadaannya yang diatur dalam Pasal 6 Undang-undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, yakni OJK bertanggung jawab terhadap seluruh layanan jasa keuangan. Namun, dalam pertemuan tersebut OJK tidak dapat menegaskan keseragaman sikapnya terhadap seluruh penyelenggara aplikasi pinjaman online," katanya. (asp)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya