Ratusan Petani Bawang Meradang, Importir Belum Penuhi Janji

Pitoyo, petani asal Desa Batur, Kecamatan Getasan.
Sumber :
  • Dwi Royanto/VIVA.co.id

VIVA – Ratusan petani bawang putih di Kecamatan Getasan, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah meradang karena kewajiban importir bawang putih belum dipenuhi. Mereka mengklaim merugi hingga ratusan juta rupiah akibat perjanjian kontrak yang tak dijalankan pengusaha importir.

Dukung Percepatan Swasembada Pangan, Petrokimia Gresik Sebar 54 Taruna Makmur ke Berbagai Daerah

Kerugian ratusan petani itu karena lahan pertanian bawang milik mereka tak bisa ditanami alias menganggur selama kurun waktu hampir satu tahun. Hal itu terjadi setelah pihak importir yang menjanjikan pemberian bibit bawang putih untuk mereka urung dibagikan.

Pitoyo selaku ketua Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Dusun Selongisor, Desa Batur mengungkapkan, terdapat sekitar 435 hektare lahan di Kecamatan Getasan yang menjadi korban importir tersebut. Khusus Desa Batur ada 12 Gapoktan dengan 110 hektare lahannya kini menganggur. 

Menko Pangan Zulhas Optimis Tahun Depan Setop Impor Gula

"Kalau dihitung-hitung kerugian kami mencapai ratusan juta. Karena selama hampir satu tahun lahan untuk pertanian bawang putih yang dikontrak importir tak juga ditanami," ujar Pitoyo ditemui VIVA di lahan miliknya, Selasa, 4 Desember 2018.

Ratusan petani diduga menjadi korban dugaan penyelewengan realisasi wajib tanam lima persen dari importir yang menyalahgunakan Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 38 Tahun 2017 tentang Rekomendasi Impor Produk Hortikultura (RIPH).

Penyerapan Hasil Panen Tembakau Diperkirakan Tergerus Akibat Aturan Ini

Dalam permentan itu diatur pengusaha importir diwajibkan menanam lima persen bibit bawang putih di dalam negeri dari jumlah rencana impor yang akan diajukannya. Di dalam pelaksanaannya, pelaku usaha importir disyaratkan bekerja sama dengan kelompok tani yang diketahui kepala dinas pertanian di kabupaten atau kota. 

Untuk memuluskan kewajiban lima persen tanam itu, importir kerap memanfaatkan nota kesepahaman atau memorandum of understanding (MoU) dengan para kelompok tani di daerah. Hanya untuk mendapatkan bukti RIPH yang seakan-akan sudah melaksanakan wajib tanam lima persen di lahan dalam negeri.

Pitoyo menyebut, perusahaan importir itu berinisial PT CMS. Perusahaan importir itu melaksanakan kesepakatan atau MoU dengan Gapoktan di wilayah Kecamatan Getasan pada akhir 2017. 

Dalam surat perjanjian yang ditandatangani ratusan kelompok tani dan dinas pertanian setempat, perusahaan itu menjanjikan 5-6 kuintal benih bawang putih per hektare lahan. Sementara itu, kontrak lahannya dimulai sejak November 2017 hingga Februari 2019 dengan dua kali masa tanam.

"Kami menyiapkan lahan dan pihak perusahaan menjanjikan bantuan benih, alat pertanian, dan pupuk. Hasilnya 70 persen petani dan 30 persen mereka," kata pria 51 tahun itu. 

Namun, pasca MoU itu, pihak importir hingga kini tak juga mengirim bibit bawang putih seperti yang dijanjikan. Pun pemberian alat pertanian yang dimaksud. 

Ironisnya, ratusan petani telah mengeluarkan tak sedikit uang untuk menyiapkan lahan mereka agar siap ditanami. Sementara itu, tak ada satu rupiah pun kompensasi yang diberikan perusahaan untuk mereka.

"Saya sendiri mewakili teman-teman petani sudah sering menghubungi pimpinan perusahaan. Tapi mereka bilang katanya ada kendala benih lah, regulasi ekspor-impor lah dan lain-lain," tutur dia. 

Tidak adanya kepastian tanam di ratusan hektare lahan yang telah disiapkan membuat para petani kelimpungan. Pitoyo berharap masalah yang mendera ratusan petani segera ada solusi. 

Pemerintah khususnya Kementerian Pertanian diminta untuk turun tangan menyelesaikan masalah petani. Apalagi, selama lahan menganggur, mereka kehilangan momentum untuk menanam komoditas tembakau yang menjadi andalan.

"Daerah sini merupakan sentra tembakau dan kemarin harganya bagus. Tapi kita bingung mau menanam, karena sudah berupaya menepati janji dengan perusahaan itu. Pengen saya dan teman-teman saat ini ya bisa segera menanam bawang seperti yang dijanjikan," ujar Pitoyo.

Hariyanto (44), salah satu petani Desa Kopeng, Kecamatan Getasan mengaku turut bingung setelah menjadi korban perjanjian importir itu. Ia dan 38 petani di kelompoknya terpaksa menganggur tak bisa menggarap lahan mereka.

"Kami sudah keluar satu juta lebih untuk menyiapkan lahan. Tapi mau tanam yang lain enggak berani. Belum teman-teman lain yang lahannya lebih luas. Di kelompok tani kami totalnya 16 hektare lahan jadi korban," ujar Hariyanto. (art)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya