Cara Kementan Kembangkan Pangan Lokal Pengganti Terigu
- Pixabay
VIVA – Kementerian Pertanian terus berupaya menekan laju impor bahan baku pangan, yang terus menggerus devisa. Salah satu upaya yang dilakukan, penganekaragaman pangan lokal sekaligus meningkatkan kemandirian dan ketahanan pangan nasional.
Salah satu caranya dengan menggelar acara Pangan Lokal Fiesta di Kampus Pertanian Cimanggu, Bogor selama dua hari, 7-8 November 2018.
Kepala Badan Litbang Pertanian Muhammad Syakir menuturkan, upaya ini tak sekadar seremoni belaka. Kegiatan tersebut diharapkan menjadi ajang peluncuran Model Agroindustri Pangan Lokal sekaligus menyebarluaskan inovasi Badan Litbang Pertanian (Balitbangtan) dalam pengembangan pangan lokal, khususnya pengganti terigu.
Hal ini sangat penting untuk masyarakat, mengingat ketergantungan terhadap terigu semakin meningkat dari tahun ke tahun. Padahal bahan baku terigu yang selama ini digunakan adalah gandum, yang bukan dikembangkan di Indonesia.
"Tanpa inovasi pengembangan pangan lokal untuk mengganti terigu, tentu akan membuat beban devisa negara semakin bertambah karena bahan bakunya harus di impor. Pengembangan agroindustri dengan bahan baku lokal menjadi ujung tombak peningkatan nilai tambah proses dan produk," kata Muhammad Syakir di Auditorium Sadikin Sumintawikarta Kampus Pertanian Cimanggu, Bogor, Rabu, 7 November 2018.
Data statistik menunjukkan kenaikan konsumsi terigu dalam 10 tahun terakhir, dari 15,5 kg/kapita/tahun pada tahun 2008 menjadi 25 kg/kapita/tahun pada tahun 2018, atau meningkat 1 kg/kapita setiap tahunnya.
Syakir menjelaskan, berbagai teknologi pengolahan dengan memanfaatkan pangan lokal sebagai bahan baku pangan pokok atau pun kudapan kini sudah banyak dihasilkan. Beberapa teknologi tersebut diantaranya modifikasi tepung atau pati baik secara fisik, kimia maupun biologis. Inovasi teknologi dengan penggunaan adaptif formulasi produk mampu menghasilkan tingkat substitusi terigu di antaranya: roti 10-20 persen, mie 10-30 persen, cake 50-100 persen, dan kue kering serta cookies 100 persen.
Potensi pengembangan pangan lokal masih sangat luas jika menilik ragam komoditas yang ada di Indonesia. Apalagi, Indonesia merupakan negara terbesar ke dua di dunia dalam keragaman hayati, yang banyak memiliki berbagai sumber daya lokal yang bisa dikembangkan sebagai pangan pokok.
"Hutan sagu Indonesia, misalnya merupakan yang terbesar di dunia mencapai 5,5 juta hektare atau mendekati 85 persen populasi sagu dunia. Begitu juga, tanaman sorghum sangat hemat air dan bisa tumbuh dengan baik, terutama di daerah kering berbatu seperti di NTT. Sayangnya potensi ini belum dikembangkan dengan baik," jelas Syakir.
Potensi lain adalah ubi kayu dan jagung, serta berbagai tanaman lain seperti hanjeli, garut, ganyong, talas, sukun yang dulunya pernah menjadi sumber pangan di sebagian masyarakat Indonesia namun kini terpinggirkan oleh konsumsi beras dan terigu yang semakin meningkat.
Kampanye cinta pangan lokal menurut Syakir tidak bisa lagi dengan cara konvensional, tapi harus dengan terobosan teknologi dan pengembangan agroindustri pangan lokal mulai dari hulu hingga hilir. "Perlu Sinergi semua pihak untuk peningkatan nilai tambah dan daya saing produk pangan lokal sehingga optimal dan layak dikembangkan secara lebih luas," jelas Syakir.
Untuk mempercepat hilirisasi inovasi pengolahan pangan lokal tersebut, Balitbangtan menggandeng beberapa Pemerintah Daerah yang merupakan sentra produksi ataupun sentra konsumsi pangan lokal membangun Model Agroindustri Pangan Lokal, diantaranya di Cimahi (berbasis ubi kayu); Sumedang (berbasis hanjeli); Demak (berbasis sorgum); Palopo, Maluku Tengah, Sorong dan Jayapura berbasis sagu.
"Dalam pengembangan Model Agroindustri Pangan Lokal tersebut, Balitbangtan harus menyiapkan line proses pengolahan mulai dari bahan baku hingga menjadi tepung dan produk olahannya seperti berasan, mie dan produk turunan lainnya," kata Syakir.