Insentif Pajak Spesifik Kunci Ekspor RI di Tengah Perang Dagang
- VIVAnews/Tri Saputro
VIVA – Dampak perang dagang antara Amerika Serikat dan China terhadap kinerja ekspor Indonesia, salah satunya adalah terjadinya penerapan proteksionisme dari sejumlah negara tujuan ekspor.
Pengamat ekonomi dari INDEF, Bhima Yudhistira Adinegara menjelaskan, salah satu contohnya adalah India, yang menerapkan proteksionisme berlebihan pada bea masuk di atas 50 persen untuk produk crude palm oil atau CPO asal Indonesia.
“Jika digabung, total porsi dari ketiga negara itu 34 persen dari total ekspor non migas. Padahal, ekspor CPO berkontribusi 15 persen dari total ekspor non migas itu sendiri,” kata Bhima dalam sebuah diskusi di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan, Rabu 7 November 2018.
Bhima menegaskan, guna meningkatkan nilai ekspor di tengah kemelut perang dagang dan pelemahan nilai tukar rupiah yang sempat terjadi dalam beberapa waktu belakangan, maka pemerintah harus melonggarkan setiap pungutan, khususnya ekspor CPO yang harus diturunkan menjadi US$15-20 per ton.
Selain itu, upaya ekspansi demi memperluas pasar baru, juga harus lebih digalakkan ke negara-negara seperti Afrika Tengah, Eropa Timur, dan Rusia.
“Pemerintah bisa memberikan keringanan pajak (tax holiday) untuk forwarder atau jasa ekspor dari Indonesia ke Afrika misalnya.” kata Bhima.
Meskipun sejauh ini pemerintah sudah banyak memberikan insentif berupa tax holiday dan tax allowances, lanjut Bhima, namun insentif itu dinilai masih terlalu umum dan tidak menyasar kebutuhan sektoral yang spesifik.
"Problem lain ada pada proses perizinan dan insentif fiskal yang belum terintegrasi, serta lamanya pengurusan pajak bagi para pelaku usaha termasuk eksportir,” ujarnya.