Bappenas: Urbanisasi di RI Belum Optimal Dongkrak Ekonomi
- VIVA.co.id/Ikhwan Yanuar
VIVA – Menteri Perencanaan dan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro mengatakan, urbanisasi bisa meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional. Namun harus dikelola dengan baik agar tak menjadi masalah di kemudian hari.
Berdasarkan data tahun 2012, sebanyak 52 persen masyarakat Indonesia sudah tinggal di kota. Kontribusi urbanisasi ke Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia sendiri pada tahun 2012 telah mencapai 70 persen.
Bambang pun memperkirakan pada tahun 2030 nanti angka urbanisasi akan tumbuh mengejutkan dari 52 persen masyarakat yang tinggal di kota menjadi 70 persen.
"Dan kontribusi urbanisasi pada PDB 2030 mungkin 85 persen," ujar Bambang di acara laporan Bank Dunia di Jakarta, Kamis 20 September 2018.
Pertumbuhan di daerah urban, ditegaskannya akan memengaruhi pertumbuhan ekonomi nasional. Namun, menurut Bambang urbanisasi di Indonesia saat ini sebetulnya masih belum optimal dalam kontribusinya ke pertumbuhan ekonomi.
Jika melihat defisit transaksi berjalan RI saat ini, menurut Bambang, salah satu masalahnya adalah keseimbangan dari neraca perdagangan. Diharapkan dengan semakin banyak urbanisasi Sumber Daya Manusia-nya harus tetap produktif dan Sumber Daya Alam juga bisa dikembangkan lebih baik.
"Kebijakan perkotaan harus lebih diarahkan lebih produktif dan tentu saja membantu kesejahteraan," kata Mantan Menteri Keuangan itu.
Masalah Serius Krisis Air di Jakarta.
Di satu sisi, urbanisasi menurutnya juga harus diikuti dengan akses layanan dasar yang baik mulai dari pendidikan hingga kesehatan. Namun, untuk populasi urban yang paling mendasar adalah air dan sanitasi dan Ibu Kota Jakarta adalah contoh pengelolaan sanitasi yang belum optimal.
"Sanitasi dan air bersih tetap saja jadi masalah yang mengancam di Jawa. Ancaman kekurangan pasokan air. Jangan anggap Jakarta punya cukup pasokan air," ujarnya.
Pada dasarnya, Bambang mengungkapkan Jakarta butuh 28 m3 air per detik tapi pasokan yang ada melalui pipa hanya 18 m3. "Ada defisit 10 m3. Tapi kita merasa tidak ada masalah kita punya cukup air di kantor, di rumah," katanya.
Ia menegaskan, jika masyarakat terus mengandalkan air tanah maka akan bisa menghancurkan lingkungan. Contohnya saja, kata dia, penurunan permukaan tanah di Jakarta Utara pada satu atau dua area, ada yang mencapai 11 cm tiap tahun.
"Anda mungkin kalau ada yang suka membaca medsos apakah riil atau fake, Jakarta adalah kota dengan penurunan permukaan tanah terbesar di dunia. Berita itu hoax tapi jangan anggap enteng. Kita belum melakukan banyak hal untuk masalah pengurangan air tanah," ujarnya.