Dana Asing Banyak Keluar, BI Diproyeksi Naikkan Suku Bunga Acuan

Mata uang Dolar AS
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan

VIVA – Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat pada perdagangan hari ini, Rabu 12 September 2018, masih bertengger di kisaran Rp14.800. Rupiah pada pembukaan perdagangan hari ini sebesar Rp14.821 per dolar AS atau menguat 0,22 persen dibanding penutupan Senin 10 September 2018.

Rupiah Terperosok ke Level Rp 15.905 per Dolar AS

Namun, hingga pukul 10.00 WIB, rupiah kembali melemah ke level Rp14.863 per dolar AS. Hal tersebut, berdasarkan data kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) Bank Indonesia, Rabu 12 September 2018, di mana perdagangan rata-rata antarbank dolar AS dibanderol Rp14.863. Atau, melemah dari perdagangan Senin, 10 September 2018 yang berada di level Rp14.835 per dolar AS.

Ekonom PT Bank Permata Tbk, Josua Pardede, menilai, pelemahan tersebut masih dipengaruhi oleh keluarnya dana asing di pasar keuangan, baik di pasar saham dan obligasi. Investor asing membukukan penjualan bersih sebesar US$192 juta dalam sepekan di pasar saham. Sementara itu, kepemilikan asing pada SUN turun sekitar US$951,5 juta dalam sepekan. 

Rupiah Loyo ke Level Rp 15.852 per Dolar AS

"Meningkatnya ketidakpastian di pasar negara berkembang serta ketidakpastian ekonomi global akibat perang dagang telah mendorong investor global untuk menghindari risiko di pasar keuangan," kata Josua kepada VIVA, Rabu 12 September 2018.

Selain itu, lanjut dia, larinya dana asing tersebut dari negara-negara emerging market ke AS juga dipengaruhi oleh sentimen pasar terhadap peningkatan probabilitas kenaikan suku bunga AS pada Federal Open Market Committee atau FOMC bulan ini yang diperkirakan menaikkan sebesar 25 basis poin. 

Dibuka Menguat, Rupiah Berpotensi Balik Melemah Dipicu Kebijakan Tarif Trump

Hal ini terutama didorong oleh data perekonomian AS yang terus menunjukkan perbaikan, seperti Non Farm Payrol atau NFP Agustus yang meningkat 201 ribu, lebih tinggi dari ekspektasi data bulan sebelumnya, serta data Job Openings and Labor Turnover Summary atau JOLTS periode Juli 2018 tercatat 6,94 juta, yang merupakan capaian tertinggi sepanjang sejarah. 

"Data positif ekonomi AS tersebut mendorong peningkatan probabilitas kenaikan suku bunga AS pada FOMC bulan ini yang diperkirakan akan menaikkan sebesar 25 bps," katanya.

Di samping itu, pasar keuangan negara berkembang juga menurutnya masih akan dipengaruhi oleh isu memanasnya perang dagang antara AS dan Tiongkok jelang rencana pengenaan tarif impor produk Tiongkok sebesar US$200 miliar yang juga berpotensi meluas ke negara lainnya antara lain Jepang dan Eropa.

Karena itu, dia memperkirakan, jika sentimen negatif dari eksternal yakni perang dagang dan sentimen negatif di beberapa negara berkembang masih membebani rupiah, BI diperkirakan kembali menaikkan suku bunga acuan dalam waktu dekat ini untuk memberikan kepercayaan pada pelaku pasar. 

"Sejauh ini saya melihat pasar cenderung lebih concern pada isu perang dagang karena bisa berpotensi meluas bukan hanya dengan Tiongkok, tapi juga dengan Jepang atau Eropa. Dan isu perang dagang ini akan memengaruhi prospek ekonomi global serta sentimen di pasar keuangan," ungkapnya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya