Pemerintah Yakin Kenaikan Tarif Impor Tak Langgar Ketentuan WTO
VIVA – Pemerintah telah memutuskan untuk menaikkan tarif Pajak Penghasilan (PPh) 22 impor terhadap 1147 komoditas impor. Di mana kenaikan tersebut dibagi ke dalam tiga kategori, yakni 210 item diputuskan tarif PPh 22 naik naik dari 7,5 persen menjadi 10 persen, 218 item komoditas dinaikkan tarif PPh 22 dari 2,5 persen menjadi 10 persen, serta 719 item komoditas yang tarif PPh 22 naik dari 2,5 persen menjadi 7,5 persen.
Meski ada kenaikan tarif tersebut, namun pemerintah menegaskan, kebijakan kenaikan PPh, yang ditujukan untuk mengendalikan impor itu tidak akan dipermasalahkan negara-negara lain, dan menjadi perseteruan di World Trade Organization atau WTO.
"Tidak perlu dikhawatirkan. Kalau kita secara spesifik hambat dari satu negara, itu baru bermasalah. Ini enggak, jenisnya kita pilah," kata Menteri Perdagangan, Enggartiasto Lukita, dalam konferensi pers di Kementerian Keuangan, Jakarta, Rabu 5 September 2018.
Dia menambahkan, selain karena hambatan tersebut tidak dispesifikan kepada suatu negara, sehingga sifatnya tidak diskriminatif, kebijakan pengendalian impor ini juga dilakukan menggunakan instrumen pajak penghasilan, sehingga dikatakannya tidak melanggar ketentuan WTO.
"Ini PPh Pasal 22 jadi tidak melanggar ketentuan di WTO dan PPh Pasal 22 ini bisa dikreditkan. Jenisnya yang kita persoalkan, dan tidak akan ada kekurangan dan itu berlebih," tegas Enggar.
Di samping itu, Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan, Oke Nurwan menambahkan, pada dasarnya yang menjadi perhatian utama WTO untuk memberikan sanksi perdagangan adalah sifat diskriminatif perdagangan suatu negara terhadap negara lain. Dengan demikian, kenaikan tarif yang ditujukan terhadap barang tidak termasuk kategori tersebut.
"Diskiriminastif. Kalau kita memberlakukan produk impor atau produk dalam negeri dibedakan pemberlakuannya maka itu diskriminatif. Jadi jangan sampai menulis ini PPh impor. Ini PPh Pasal 22. Jangan salah," ungkapnya.