Investor Diklaim Masih Kurang Informasi Soal Penjaminan Proyek
- ANTARA/Septianda Perdana
VIVA – Bentuk penjaminan yang diberikan pemerintah untuk pembangunan infrastruktur di Indonesia belum semuanya dipahami oleh calon investor. Hal itu dinilai karena informasi yang disampaikan kepada calon investor belum merata.Â
Padahal pemerintah dengan berbagai Peraturan Presiden dan termasuk pembentukan badan usaha seperti PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia dan PT Sarana Multi Infrastruktur, telah banyak memberikan struktur penjaminan yang memungkinkan investor dalam dan luar negeri untuk berpartisispasi dalam pembangauan infrastruktur d Indonesia.
Hal ini mengemuka dalam diskusi mengenai Infrastruktur yang diselenggarakan oleh publikasi hukum global, Legal 500, di kantor hukum Dentons Rodyk dan lawfirm Hanafiah Ponggawa & Partners (HPRP) di Jakarta awal pekan ini. Diskusi ini melibatkan perusahaan-perusahaan multinasional termasuk perbankan dan asuransi.
Managing Partner dari Dentons Rodyk Philip Jayaretnam menyatakan, Indonesia sebagai ekonomi terbesar di ASEAN, membutuhkan partisispasi dari banyak perusahaan untuk pengembangan infrastrukturnya. Termasuk infrastruktur yang menjadi bagian dari prioritas nasional seperti jalan, listrik, pelabuhan dan air minum.Â
“Untuk menarik investor terutama investor asing dalam proyek infrastruktur diperlukan kepastian hukum dan kemudahan dalam berusaha,“ kata Philip dikutip dari keterangan resminya, Jumat 27 Juli 2018.Â
Saat ini belum semua pihak paham dan dapat memanfaatkan jenis penjaminan yang ada dan diberikan oleh pemerintah, Seperti melalui mekanisme penerbitan Reksadana Penyertaan Terbatas (RDPT). Padahal pinjaman itu sangat mungkin dapat melibatkan pihak yang belum terlibat langsung dalam proyek infrastruktur seperti bank.
"Pemerintah Indonesia sudah memberikan berbagai bentuk penjaminan, baik langsung dari Kemenkeu maupun dalam bentuk viability guarantee yang diberikan melalui PII atau SMI, termasuk dalam pengadaan tanah yang sering menjadi problem dalam pembangunan infrastruktur di Indonesia," kata Andre Rahadian, partner lawfirm Hanafiah Ponggawa & Partners (HPRP) sebagai pihak yang terlibat dalam proyek infrastruktur tanah air.
Namun, kata dia, belum semua pihak paham dan dapat memanfaatkan jenis penjaminan yang ada dan diberikan oleh pemerintah, seperti melalui mekanisme penerbitan Reksadana Penyertaan Terbatas (RDPT) yang sangat mungkin dapat melibatkan pihak yang saat ini belum terlibat langsung dalam proyek infrastruktur seperti bank-bank asing dan perusahaan asuransi.
Lalu, praktisi hukum internasional yang sudah hampir 30 tahun berkecimpung Indonesia dan Asia, John Dick menyatakan, bahwa masalah penjaminan yang sama juga dialami di beberapa negara ASEAN. Khususnya yang sedang membangun infrastruktur seperti Philipina dan Vietnam.Â
“Penjaminan untuk proyek itu memerlukan stabilitas dan keberlanjutan dari segi pemerintahan dan kebijakannya. Saya rasa Indonesia sudah memiliki hal-hal dasar yang diperlukan untuk suksesnya pembangunan infrastruktur," tambahnya.Â
Dana yang dibutuhkan untuk pembangunan infrastruktur di Indonesia dikatakan mencapai US$300 miliar. Di mana APBN 2017-2018 hanya dapat memenuhi sekitar 50 persen dari kebutuhan tersebut sehingga peran swasta nasional dan asing sangat diperlukan terutama dengan sistem kerja sama (KPBU) yang saat ini sedang banyak dijalankan dan ditawarkan oleh pemerintah.
Â