Menko Darmin Ungkap AS Tak Senang Ada Gerbang Pembayaran Nasional RI

Menteri Kordinator Perekonomian, Darmin Nasution
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Nova Wahyudi

VIVA – Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution menegaskan, pemerintah bersama dengan Bank Indonesia tidak akan melakukan perubahan terhadap sistem Gerbang Pembayaran Nasional atau GPN.

IHSG Berpotensi Tembus ke Level 8.000, Perang Dagang di Era Donald Trump Jadi Sentimen Positif?

Meski hal itu menjadi salah satu faktor, mengapa Amerika Serikat, mempertimbangkan untuk mencabut fasilitas Generalized System of Preferences atau GSP untuk produk Ekspor RI.

Darmin menjelaskan, hal itu karena GPN menjadi landasan utama dan pertama bagi Indonesia untuk menciptakan sistem transaksi keuangan melalui kartu debit yang mampu diproses di dalam negeri. Tidak lagi harus diproses di luar negeri sebagaimana melalui Visa maupun Master Card.

Waspadai Perang Dagang Jilid II ala Trump, Sri Mulyani: Pasti Akan Berdampak Langsung ke Ekonomi

"Di dalam rapat yang telah kami lakukan enggak ada (perubahan aturan). enggak tahu nanti di sana (AS). Waktu saya di BI, keberatan kenapa harus keluar (data transaksinya). Kalau transaski di sini, di sini aja di proses. Nah, dia (AS) enggak mau itu. Sampai kemudian, macam-macam lah," ujarnya, saat ditemui di Gedung Pudiklat Kementerian Luar Negeri, Jakarta, Selasa 24 Juli 2018.

Dia mengungkapkan, pada dasarnya, selama ini, masyarakat Indonesia bertransaksi melalui kartu debit sebelum adanya GPN, harus membayar uang proses transaksi ke luar negeri mencapai US$2 miliar dalam satu tahun.

Investor China Serbu RI Akibat Kebijakan Trump, Kemenperin: 'Gembira tapi Juga Khawatir'

"Jadi, persolan kita dari dulu dengan Master dengan Visa sebenarnya adalah kalau Anda gesek Visa di sini atau Master, dia akan terus keluar diproses di sana. Dan, Anda bayar tanpa Anda tahu. Gimana ceritanya Anda enggak tahu, karena yang bayar itu banknya, dan banknya menutupkan biayanya ke Anda," ungkap Darmin.

Karena itu, kata dia, dengan adanya GPN tersebut BI telah mengatur agar perusahaan switching asing yang masuk ke Indonesia hanya bisa menaruh sahamnya sebesar 20 persen. Sehingga, harus melakukan kerja sama dengan investor domestik.

"Memang aturan BI begitu. Kalau asing masuk, boleh, tapi hanya 20 persen. Punya saham berarti harus join dengan investor yang lain. Nah, itu dia (AS) marah itu," paparnya.

Ilustrasi perang dagang AS-China.

5 Saham Jagoan Diprediksi Tetap Cuan di Tengah Ancaman Perang Dagang Global

Mirae Asset Sekuritas ungkap 80 emiten saham yang tetap cuan di tengah ancaman perang dagang global. Dari 80 saham ada lima yang dijagokan dan tersebar di seluruh sektor.

img_title
VIVA.co.id
16 Januari 2025