Ironis, Pengeluaran Orang Miskin Beli Rokok Lebih Gede dari Beras
- REUTERS/Thomas White
VIVA – Ruddy Gobel, chief of Communications and Partnership, Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) menyebutkan, masalah rokok sangat dekat dengan persoalan kemiskinan.
Hal ini disebabkan dominasi pengeluaran untuk rokok di kalangan masyarakat miskin sangat besar, yang merupakan pengeluaran terbesar kedua setelah beras atau mencapai 11 persen dari total pengeluaran rumah tangga miskin.
"Pengeluaran masyarakat miskin untuk rokok yang sedemikian besar, mengurangi kemampuan masyarakat miskin untuk pengeluaran makanan bergizi seperti telur, pengeluaran untuk pendidikan anak, dan juga pengeluaran untuk kesehatan," ujar Ruddy di Jakarta Pusat, Selasa, 17 Juli 2018.
Menurut dia, situasi ini jika dibiarkan terus akan menyebabkan masyarakat miskin tetap akan berada dalam siklus kemiskinan dari generasi ke generasi.
Oleh karena itu, ia meminta pemerintah menaikkan harga rokok setinggi mungkin, sebagai salah satu langkah konkret mengurangi konsumsi rokok di kalangan masyarakat miskin. Upaya itu diharapkan dapat mengalihkan pengeluaran untuk konsumsi makanan bergizi, biaya pendidikan, dan kesehatan. Hal ini juga dapat berkontribusi pada upaya pengentasan kemiskinan.
Di sisi lain, kata dia, jumlah perokok pemula diketahui meningkat dari 7,2 persen pada 2013 menjadi 8,8 persen pada 2016. Padahal sebelumnya, pemerintah melalui Kementerian Kesehatan menargetkan penurunan prevalensi perokok anak usia di bawah 18 tahun sebesar satu persen setiap tahunnya.
"Ini menunjukkan rokok murah juga mendorong anak-anak yang mampu membeli rokok, sehingga menjadi perokok yang tidak dapat berhenti seterusnya," katanya.
Ia menambahkan, melihat fakta-fakta di atas, ditambah dukungan yang kuat dari masyarakat, Kementerian Keuangan, tidak perlu ragu untuk menaikkan harga rokok melalui kenaikan cukai sebagai instrumen pengendalian konsumsi.