Harga Saham Freeport Dibilang Mahal, Menteri Rini: Apa Dasarnya
- VIVA/Daru Waskita
VIVA – PT Indonesia Asahan Alumunium dan Freeport-McMoran Inc (FCX) secara resmi telah menandatangani head of agreement atau penandatanganan pokok-pokok kesepakatan divestasi saham PT Freeport Indonesia.
Dalam HoA tersebut dicapai proses kesepakatan divestasi saham PT FI, di mana 51 persennya akan dimiliki Indonesia sedangkan 49 persennya dimiliki Freeport-McMoran Inc.
HoA tersebut juga menyetujui harga dan struktur pengambil alihan 51 persen saham tersebut dengan harga yang harus dibayar PT Inalum sebesar US$3,85 miliar atau setara Rp54 triliun (kurs Rp14.000 per dolar AS).
Namun, dari kesepakatan tersebut sejumlah pengamat menilai harga yang ditawarkan terlalu mahal, sehingga seharusnya sebelum kesepakatan ini dilakukan pemerintah bisa meminta harga yang jauh lebih rendah.
Menanggapi hal tersebut, Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini Soemarno mengatakan dalam HoA yang dilakukan kemarin memang pihaknya mengutamakan harga tercapai dan struktur tercapai terlebih dahulu.
Dengan demikian, apabila ada suatu proses yang salah dan perlu dikritisi pihaknya sangat terbuka, asalkan lanjut Rini, didasari dengan dasar data yang kuat dan bisa dipertanggungjawabkan.
"Kalau ada yang bilang mahal, coba diomongin dasarnya apa? Kita minta semua pihak, kritikan penting, dan kita berikan yang terbaik untuk rakyat. Tapi perlu diperkuat data, dasarnya apa," tegas Rini kepada VIVA.
Proses Panjang
Ia mengungkapkan, keluarnya kesepakatan harga saham FI dalam HoA tentunya dilakukan dengan proses dan kalkulasi yang panjang, sehingga apa yang muncul saat ini bisa dipertanggungjawabkan alasannya.
"Harga mahal yang dibilang itu seperti apa, kita sudah lakukan ini dengan proses dan kalkulasi yang panjang sehingga bisa dipertanggungjawabkan kok harga yang kita pakai itu," ujarnya.
Sebelumnya, Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (IRESS) Marwan Batu Bara menilai harga divestasi Freeport Indonesia terlalu mahal. Sebab, pemerintah sebenarnya bisa meminta harga yang lebih rendah.
Hal itu, kata dia, lantaran perusahaan yang berada di tambang grasberg Papua itu harus membayar sanksi akibat kerusakan lingkungan yang ditimbulkan selama beroperasi di Indonesia. (ren)