Perang Dagang AS, Pertumbuhan Ekonomi China Ikut Melambat

Ilustrasi pertumbuhan ekonomi China.
Sumber :
  • TheRichest.com

VIVA – Pertumbuhan ekonomi China pada kuartal kedua di 2018, diperkirakan mengalami perlambatan moderat. Hal ini sebagai dampak upaya pemerintah untuk mengatasi risiko utang yang menghambat aktivitas perusahaan dan perang perdagangan dengan Amerika Serikat, yang terus mengancam ekspornya, meski tercatat surplus pada Jumat lalu terhadap AS yang mencapai US$28,97 miliar.

Setelah China, AS Juga Dukung Prabowo Terapkan Program Makan Bergizi Gratis di Indonesia

Dilansir Reuters, Senin 16 Juli 2018, berdasarkan survei yang telah mereka lakukan, diperkirakan produk domestik bruto (PDB) China tumbuh 6,7 persen secara tahunan pada periode April-Juni, atau sedikit lebih rendah dari pertumbuhan sebesar 6,8 persen di kuartal pertama.

Analis memperkirakan, pergulatan perdagangan antara dua ekonomi teratas dunia tersebut akan menghambat ekspor China pada paruh kedua 2018, yang juga akan menyeret pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan.

Kereta Otonom Tanpa Rel Diretur ke China, Kemenhub: Untuk IKN Kita Cari yang Terbaik

"Ke depan, kami pikir pertumbuhan ekspor akan mendingin dalam beberapa bulan mendatang, karena tarif AS mulai menggigit bersamaan dengan pelemahan yang lebih luas dalam permintaan global," ujara analis Capital Economists, yang dikutip Reuters.

Meski begitu, perlambatan perekonomian China tersebut juga diperkirakan akan sedikit lebih ringan di paruh kedua tahun ini, karena risiko pasar keuangan sudah menjadi jelas dan permintaan domestik sudah diperkirakan akan alami penurunan.

Kereta Otonom Tanpa Rel IKN Dikembalikan ke China, OIKN Ungkap Alasannya

Hal itu, dikatakan para analis karena terlihat dari perilaku para pembuat kebijakan China yang cenderung meningkatkan dukungan kebijakan untuk ekonomi dan melunakkan sikap mereka terhadap deleveraging akibat dihadapkan dengan perlambatan permintaan domestik dan potensi kejatuhan ekonomi dari perang dagang.

The People`s Bank of China atau Bank Sentral China, yang telah memangkas persyaratan cadangan bank tiga kali tahun ini, baru-baru ini juga telah menggantikan penggunaan istilah "deleveraging" dengan "deleveraging struktural", yang merupakan istilah terhadap sebuah perubahan pembatasan yang kurang keras terhadap utang.

“Mengingat bahwa banyak tekanan saat ini terhadap ekonomi yang berasal dari pengetatan regulasi keuangan dan kredit, terutama pada pembiayaan dan infrastruktur pemerintah daerah, kami pikir pemerintah kemungkinan akan menyesuaikan laju pengetatan domestik sebagai reaksi pertama terhadap perang perdagangan yang sekarang meningkat, ”kata ekonom UBS Cina Tao Wang.

Para ekonom dari Nomura juga memperkirakan, Bank Sentral Cina tersebut setidaknya akan memberlakukan satu lagi pemangkasan terhadap rasio persyaratan cadangan bank (reserve requirement ratio-RRR) sebelum akhir tahun, yang kemungkinan sebesar 100 basis poin dan meningkatkan pendanaan langsung ke ekonomi riil melalui alat injeksi likuiditas lainnya, seperti fasilitas pinjaman tambahan (supplementary lending facility).

China merilis GDP kuartal kedua pada hari ini, bersamaan dengan output industri Juni, penjualan ritel, penjualan properti dan investasi, dan data investasi aset tetap. Para ekonom dalam survei itu memperkirakan PDB tumbuh 1,6 persen secara kuartal ke kuartal, dibandingkan 1,4 persen di kuartal pertama.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya