Lima Pukulan Berat yang Buat Rupiah Masih Kedodoran

Petugas jasa penukaran valuta asing memeriksa lembaran mata uang rupiah dan dolar AS di Jakarta.
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari

VIVA – Dalam satu pekan terakhir, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat, terus melemah. Berbagai faktor eksternal diakui menjadi penyebab mata uang garuda terus berfluktuatif.

Rupiah Melemah Lagi, Misbakhun: Bukan Akibat KPK Geledah BI

Berdasarkan data kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR), disebutkan nilai tukar rupiah pada Senin 2 Juli 2018, sebesar Rp14.331 per dolar AS. Sedangkan pada Jumat 6 Juli 2018, rupiah melemah ke Rp14.409 per dolar.

Ekonom PT Bank Central Asia Tbk, David Sumual mengatakan, pelemahan rupiah saat ini sebenarnya adalah efek tercepat dari kebijakan eksternal yang terjadi di dunia saat ini.

Waspadai Perang Dagang Jilid II ala Trump, Sri Mulyani: Pasti Akan Berdampak Langsung ke Ekonomi

Menurut dia, pelemahan rupiah adalah dampak lanjutan dari kekhawatiran perang dagang antara AS-China dan ancaman AS ke Indonesia, yang masuk dalam 16 negara yang dituduh curang dalam perdagangan.

"Jadi, perang dagang AS itu tak hanya buat khawatir produk unggulan kita seperti tekstil dan perikanan. Tetapi, efek lanjutan dari permintaan China yang turun dan buat ekspor kita turun juga dan paling cepat dampaknya ya kurs," jelas David, saat dihubungi VIVA.

Investor China Serbu RI Akibat Kebijakan Trump, Kemenperin: 'Gembira tapi Juga Khawatir'

Tak hanya itu, David menambahkan, rupiah masih akan mungkin tertekan karena reaksi China atas perang dagang. Di mana, China melakukan relaksasi atas kebijakan moneter dengan melemahkan Yuan hingga 0,3 persen.

Atas kebijakan tersebut, ia mengungkapkan, akan ikut menghantam negara-negara emerging market, termasuk Indonesia yang memiliki neraca transaksi berjalan yang masih defisit.

"Jadi, sebenarnya sekarang lebih bahaya, karena ada lima pukulan. Dari The Fed naikkan suku bunga empat kali, perang dagang, ekspor tumbuh melambat, neraca transaksi berjalan defisit besar, dan pelemahan yuan," ujarnya.

Sementara itu, untuk mengatasi hal tersebut dalam jangka pendek, David mengaku ada tiga hal yang bisa dilakukan oleh Bank Indonesia dan Pemerintah saat ini.

Pertama, adalah Bank Indonesia perlu cari peluang dengan bank sentral negara lain untuk menawarkan Surat Berharga Negara (SBN). Kemudian kedua, melakukan penyesuaian terhadap Suku Bunga Acuan Bank Indonesia.

Yang ketiga, adalah penyelesaian masalah struktural oleh pemerintah dengan segera mengurangi impor khususnya pada proyek dengan impor besar dan tidak prioritas untuk bisa ditunda pelaksanaanya. (asp)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya