RI Ingin Raup Rp1,7 Triliun dari Jualan Ikan di Eropa
- VIVA.co.id/Miranti Hirschmann
VIVA – Indonesia ambil bagian pada Seafood Expo Global di Brussel, Belgia pada 24-26 April lalu. Seafood Expo Global ini merupakan ajang terbesar dunia di mana bertemunya para produser, eksportir dan buyers industri perikanan dari seluruh penjuru dunia.
Adapun Industri utama yang ditampilkan dalam expo tahunan ini adalah produk perikanan segar, beku dan olahan, pengemasan, logistik dan sebagainya
Dengan sekitar 1850 stand dari sekitar 79 negara, yang memadati Brussel Expo, pameran dagang berdurasi tiga hari ini mampu menyedot sekitar 26 ribu pengunjung. Mereka berasal dari industri gastronomi, perusahaan katering, restoran, hotel, supplier, distributor, supermarket, pasar ikan dan lainnya.
Kementerian Kelautan dan Perikanan Indonesia ikut serta dalam Seafood Expo Global dengan menghadirkan paviliun Indonesia. Paviliun ini luasnya 416 m2, dengan konstruksi layout berbentuk kapal Phinisi.
KKP mengajak 14 perusahaan yang bergerak di industri perikanan Indonesia dan Asosiasi Tuna Indonesia. Produk unggulan seafood Indonesia yang tampak di paviliun ini antara lain ikan Tuna, Mahi mahi, cumi-cumi udang juga kepiting dalam bentuk beku maupun yang sudah diolah.
Direktur Jenderal Penguatan Daya Saing (PDS) Kementerian Kelautan dan Perikanan, Nilanto Perbowo mengungkapkan bahwa pada Seafood Expo Global 2017, paviliun Indonesia berhasil mencapai nilai transaksi dengan para buyers Uni Eropa sebesar US$111 juta atau setara Rp1,5 triliun.
"Target SEG (Seafood Expo Global) tahun ini adanya peningkatan 10 persen mengingat besarnya peluang pasar Uni Eropa," jelas Nilanto saat ditemui VIVA beberapa waktu lalu.
Untuk penetrasi Pasar Uni Eropa, Lanjut dia, Indonesia masih harus berupaya keras meyakinkan para buyer bahwa dalam tiga tahun terakhir, Indonesia sudah sangat serius memerangi berbagai pelanggaran.
Seperti pelanggaran hak asasi manusia pada industri perikanan, juga memastikan industri perikanan tidak terlibat dalam praktik penyelundupan baik penyelundupan hewan langka dilindungi, minum keras atau narkoba.
Â
Nilanto Perbowo juga mengingatkan bahwa kendala terbesar dalam penetrasi pasar produk perikanan ke Uni Eropa adalah tarif bea masuk yang dikenakan terhadap produk ikan Indonesia.
"Kita harus mengetahui bahwa tarif bea masuk dari produk yang sama dari Timor Leste, Papua Nugini dan Filipina mendapat tarif bea masuk sebesar Nol persen, sementara produk Indonesia tujuh hingga 24 persen," jelasnya.
Ini yang menjadi tantangan bagi kita, maka itu KKP sedang mengupayakan untuk meyakinkan pihak Uni Eropa yaitu DG Mare agar mereka memahami apa yang telah kita lakukan selama tiga tahun belakangan termasuk memerangi illegal fishing dan meningkatkan good governanance pada pengolahan sumber daya perikanan Indonesia. (ren)