Tabrak Banyak Aturan, Jokowi Diminta Kaji Lagi Holding Migas
- VIVA.co.id/Dhana Kencana
VIVA – Pembentukan perusahaan induk atau holding Badan Usaha Milik Negara sektor minyak dan gas bumi sedikit lagi memasuki babak final. Terlebih Presiden Joko Widodo telah tandatangani Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 6 Tahun 2018.
Namun, apa yang telah dilakukan Presiden tersebut justru mendapat banyak kritik dari sejumlah pengamat. Sehingga, diminta untuk mengkaji lagi upaya penggabungan PT Pertamina dan PT Perusahaan Gas Negara Tbk atau PGN.
Pengamat Hukum Sumber Daya Alam dari Universitas Tarumanegara, Ahmad Redi mengatakan usul Menteri BUMN Rino Soemarno yang ingin menggabungkan dua BUMN migas tersebut dinilai hanya akan merugikan negara dan masyarakat.
Menurutnya, holdingisasi BUMN Migas tidak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Sebab, penyertaan modal ke dalam Pertamina harus dilakukan melalui mekanisme Anggaran Pendapatan Belanja Negara.
"Hilangnya kontrol Pemerintah dan DPR secara langsung pada BUMN yang jadi anak perusahaan akibat kebijakan holdingisasi sangat berbahaya mengingat akan terjadi tranformasi kekayaan negara menjadi bukan kekayaan negara lagi," ujar Redi dalam keterangan tertulisnya yang diterima, Jumat, 9 Maret 2018.
Petugas dari PGN sedang memasang instalasi gas rumah tangga.
Ia menegaskan, penggabungan PGN sebagai anak usaha Pertamina akan berakibat pada hilangnya pengawasan keuangan negara dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), serta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atas anak usaha holding tersebut.
"Aksi korporasi holdingisasi secara nyata merugikan kepentingan nasional karena perubahan bentuk dari perusahaan negara menjadi perusahaan swasta akan menghapus kontrol Pemerintah dan DPR," tegasnya.
Selain merugikan negara, Redi mengingatkan kalau holdingisasi BUMN juga akan merugikan masyarakat yang seharusnya mendapatkan pelayanan dari perusahaan pelat merah yang hidup dari pajak yang mereka bayarkan.
Dengan menjadi anak perusahaan suatu holding, maka PGN yang tadinya berbentuk BUMN akan kehilangan kewajiban pelayanan publik atau public service obligation (PSO)-nya sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN.
"Selain itu, dalam UU Keuangan Negara disebutkan PSO dalam rangka penyertaan modal negara kepada swasta hanya dapat dilakukan dalam keadaan tertentu yang berakibat pada perekonomian nasional setelah mendapat persetujuan DPR," ujar Redi.