Fadli Zon Kritik Strategi Pembangunan RI Tak Jelas
- VIVA.co.id/Reza Fajri
VIVA – Pelaksana Tugas Ketua DPR, Fadli Zon, menilai sepanjang tahun 2017 perekonomian Indonesia banyak dipenuhi kabar murung. Hal itu tak lepas dari strategi pembangunan pemerintah yang tak jelas. Dia menilai dari awal pemerintah tak punya konsep jelas dalam pembangunan.
"Ini bisa kita lihat dari jargon yang dibangun. Saat naik, pemerintah mengusung jargon ‘Revolusi Mental’, seolah itu akan jadi ‘blue print’ kerja selama lima tahun. Tapi kemudian mereka bangun ternyata adalah infrastruktur fisik. Jadi, antara wacana yang diproduksi dengan praktik yang dikerjakan tidak nyambung," kata Fadli dalam pesannya, Sabtu 30 Desember 2017
Semula ia mengira ‘Revolusi Mental’ itu akan jadi sejenis gagasan ‘people centered development’ ala David Korten, sang konseptor pembangunan rakyat. Gagasan itu adalah kritik terhadap konsep pembangunan ekonomi yang berorientasi mengejar pertumbuhan dengan mengabaikan aspek pembangunan manusia dan lingkungan. Tapi Fadli menilai dia keliru menduga. Sebab pemerintah kini bahkan tak pernah menyebut lagi jargon ‘Revolusi Mental’ tersebut.
"Inkonsistensi juga bisa kita lihat dari jargon pembangunan maritim. Mau mengembalikan kejayaan ekonomi maritim tapi kok yang dibangun adalah jalan tol di darat? Lebih aneh lagi, pemerintah malah hendak melepas pengelolaan 20 pelabuhan ke pihak swasta," kata Fadli.
Lagi pula, menurutnya, penggunaan dana publik untuk membangun jalan tol adalah hal yang ironis, karena kemudian publik tetap harus membayar mahal untuk menggunakannya.
"Lihat saja ruas tol Bekasi-Cawang-Kampung Melayu (Becakayu) yang kemarin diresmikan Presiden, tarifnya mencapai Rp14 ribu untuk panjang 12 kilometer. Jadi, masyarakat harus membayar lebih dari Rp1000 per kilometernya," kata Fadli.
Selain tarif, ia menyebutkan, pengelolaan jalan tol di Indonesia juga ganjil, karena status jalan tol di Indonesia sepertinya tak mengenal masa kedaluwarsa. Sesudah konsesinya habis, biasanya hanya operatornya yang berganti, tapi jalan tolnya tetap digunakan sebagai jalan tol oleh pemerintah, bukan diubah jadi jalan umum biasa. Ini sebenarnya tak lazim dan merugikan masyarakat.
"Bagi saya, inkonsistensi serta paradoks-paradoks itu menunjukkan pembangunan ekonomi yang dilakukan oleh pemerintah selama ini sebenarnya memang tak punya konsep. Tak mengherankan jika sepanjang tahun 2017 ini rapor ekonomi pemerintah cukup buruk," kata Fadli.
Ia berpendapat pertumbuhan ekonomi tahun ini diperkirakan akan bertahan di angka 5,05 persen. Angka ini tak jauh berbeda dengan pertumbuhan tahun 2016 yang sebesar 5,02 persen. Jadi, perekonomian Indonesia sepanjang tahun ini sebenarnya stagnan.
"Konsumsi rumah tangga, yang biasanya jadi motor pertumbuhan, karena sepanjang tahun ini dihantam oleh pelemahan daya beli, kini turun kontribusinya. Tutupnya sejumlah supermarket dan gerai ritel menunjukkan daya beli masyarakat memang benar-benar sedang tertekan, meski berkali-kali telah dibantah pemerintah," kata Fadli.
Kenaikan tarif
Menurutnya, perekonomian Indonesia memang sedang lesu. Namun pemerintah harus menyadari kebijakan fiskal yang ketat dalam tiga tahun terakhir tak bagus bagi pemulihan ekonomi dan daya beli masyarakat.
Seharusnya anggaran negara diprioritaskan untuk merangsang kegiatan ekonomi masyarakat dan memecahkan persoalan mendesak jangka pendek. Tidak seharusnya di tengah-tengah keterbatasan anggaran dan penerimaan negara, pemerintah terus-menerus memprioritaskan anggaran untuk belanja infrastruktur.
"Selain itu, di tengah kelesuan ekonomi, pemerintah seharusnya tak menambah beban masyarakat dengan kenaikan berbagai tarif, pungutan, serta pajak. Rencana kenaikan tarif terselubung melalui penyederhanaan golongan listrik di bawah 5.500 VA, misalnya, yang rencananya diberlakukan tahun depan, seharusnya dibatalkan. Sebab semakin memukul daya beli masyarakat yang akhirnya berimbas negatif bagi perekonomian," kata Fadli.
Ia meminta Presiden mengevaluasi para menteri dan penasihat ekonominya. Para menteri, menurutnya, terlalu textbook thinking, sehingga gagal memahami struktur perekonomian Indonesia. Pertumbuhan GDP, misalnya, bukanlah ukuran perkembangan ekonomi yang akurat, itu sebabnya tak pantas didewa-dewakan oleh teknokrat. Sebab, mengingat struktur perekonomian Indonesia, besaran GDP lebih mewakili ‘pertumbuhan ekonomi orang asing di Indonesia’, ketimbang mewakili pertumbuhan ekonomi Indonesia sendiri.
"Pembangunan infrastruktur mendesak segera dievaluasi. Selama ini, bertambahnya utang, melambatnya pertumbuhan, berkurangnya anggaran subsidi, oleh pemerintah sering dikaitkan dengan pembangunan infrastruktur. Saya menilai, pembangunan infrastruktur telah dijadikan dalih atas setiap kegagalan pemerintah dalam memenuhi janji-janji serta kewajiban-kewajibannya. Ini tak bagus," kata Fadli. (one)