Tiga Pemimpin Partai Tumbang karena Korupsi, Siapa Menyusul?
- ANTARA FOTO/M Agung Rajasa
VIVA – Publikasi Transparency International Indonesia atau TII tentang lembaga paling korup memperoleh pembenaran melalui peristiwa penetapan tersangka korupsi terhadap Setya Novanto, Sang Ketua Dewan Perwakilan Rakyat.
Hasil survei Global Corruption Barometer yang dipublikasikan TII pada Maret 2017 itu menempatkan lembaga DPR sebagai lembaga terkorup di Indonesia. Tidak sedikit legislator yang terjerat kasus korupsi (data tahun 2004 hingga 2013): 74 anggota DPR, 2.545 anggota DPRD provinsi, dan 431 anggota DPRD kabupaten/kota.
Tak dapat dimungkiri juga bahwa partai politik menjadi faktor utama yang memengaruhi baik-buruk parlemen. Partai politik lah yang merekrut sekaligus mengkader calon wakil rakyat. Masalahnya, tidak sedikit pucuk pimpinan partai yang justru terjerat korupsi.
Bahkan, tiga pemimpin tertinggi partai sudah dipenjarakan gara-gara rasuah, lalu dilengserkan dari kedudukannya. Semua pernah menjadi anggota DPR. Siapa saja mereka dan apakah ada yang akan menyusul?
Anas Urbaningrum
Anas Urbaningrum lengser sebagai Ketua Umum Partai Demokrat setelah Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK menetapkannya sebagai tersangka korupsi pada 22 Februari 2013. Dia menyatakan mengundurkan diri sebagai ketua umum sehari setelah itu.
Anas disangka terlibat korupsi proyek pembangunan kompleks olahraga terpadu di Hambalang, Bogor, Jawa Barat. Ia disangka menerima pemberian hadiah terkait proyek Hambalang saat masih menjadi anggota DPR dan Ketua Fraksi Partai Demokrat DPR.
Dia kemudian dihukum penjara delapan tahun penjara dan denda Rp300 juta oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta. Anas tak menerima putusan itu lalu mengajukan banding kepada Pengadilan Tinggi. Namun Pengadilan malah memperberat hukumannya menjadi penjara selama 14 tahun.
Luthfi Hasan Ishaaq
Luthfi Hasan Ishaaq adalah Presiden Partai Keadikan Sejahtera (PKS) periode 2009-2014. Tapi masa jabatannya berakhir di tengah jalan di tahun ketiga. Dia mengundurkan diri setelah KPK menetapkannya sebagai tersangka kasus suap daging impor pada 31 Januari 2013.
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta menghukum Luthfi dengan pidana penjara selama 16 tahun dan denda Rp1 miliar subsider satu tahun kurungan. Dia mengajukan banding atas vonis itu dan Pengadilan Tinggi Jakarta mengurangi lamanya subsider denda menjadi enam bulan penjara.
Sayangnya vonis itu belum selesai. Mahkamah Agung malah memperberat hukuman untuk Luthfi menjadi penjara selama 18 tahun dan denda Rp1 miliar subsider enam bulan kurungan. Mahkamah bahkan juga mencabut hak politik untuk dipilih dalam jabatan publik.
Luthfi, dalam kasus impor daging pada Kementerian Pertanian, memanfatkan statusnya sebagai anggota DPR dalam tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang berupa janji pemberian uang senilai Rp40 miliar dari PT Indoguna Utama dan telah menerima uang Rp1,3 miliar melalui Ahmad Fathanah.
Suryadharma Ali
Suryadharma Ali menjadi tersangka korupsi dana haji kala menjabat Menteri Agama dan di saat yang sama sebagai Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan atau PPP. KPK menetapkannya sebagai tersangka pada 23 Mei 2014 dan mengundurkan diri dari jabatan menteri tiga hari setelahnya.
Suryadharma masih menjabat Ketua Umum PPP selagi menjalani proses hukum. Dia menolak mengundurkan diri. Pimpinan partai Kakbah itu akhirnya memutuskan memberhentikan Suryadharma pada 10 September 2014.
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta menghukum Suryadharma dengan pidana penjara selama enam tahun. Dia mengajukan banding atas vonis itu. Pengadilan Tinggi Jakarta malah memperberat hukumannya menjadi penjara selama 10 tahun dan pencabutan hak politik selama lima tahun.
Setya Novanto
KPK menetapkan Setya Novanto sebagai tersangka korupsi proyek pengadaan KTP elektronik atau e-KTP dengan perkiraan kerugian negara Rp2,3 triliun pada 17 Juli 2017. Dia menjabat Ketua DPR sekaligus Ketua Umum Partai Golkar.
Segera setelah berstatus tersangka, Novanto mengajukan gugatan praperadilan kepada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Pada 29 September, Majelis Hakim mengabulkan permohonan Novanto dan menyatakan penetapan tersangka oleh KPK itu tidak sah.
KPK menetapkan Novanto sebagai tersangka untuk kali kedua dalam kasus yang sama pada 10 November. Novanto tiga kali mangkir dari panggilan pemeriksaan KPK. Penyidik KPK berusaha menangkap Novanto pada 15 November tetapi dia tak ditemukan di rumah.
Keesokan hari, Novanto dikabarkan dirawat di rumah sakit setelah kecelakaan tunggal dalam mobil yang ditumpanginya. Dua hari kemudian, Minggu, 19 November, KPK memutuskan menahan Novanto di rumah tahanan.
Novanto masih bertahan sebagai Ketua DPR RI dan Ketua Umum Partai Golkar. Namun di DPR, desakan agar dia mengundurkan diri atau diberhentikan kian menguat. Begitu juga di internal partainya, mulai menguat desakan menggelar Musyawarah Nasional Luar biasa untuk menggantikannya sebagai ketua umum. (one)