Rizal Ramli Minta Gedung Baru DPR Dibatalkan
- ANTARA/Widodo S. Jusuf
VIVA – Pakar ekonomi yang juga mantan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Rizal Ramli mengkritisi rencana pembangunan gedung baru Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang dimulai 2018. Ia meminta pembangunan gedung baru DPR dibatalkan.
"Menurut saya gedung DPR baru kami minta dibatalkan," kata Rizal saat diskusi bertema 'RUU PNBP Rakyat Tambah Beban' di kawasan Tebet, Jakarta, Rabu 1 November 2017.
Rizal menduga ada barter antara pemerintah dengan DPR untuk meloloskan revisi Undang-Undang Penerimaan Negara Bukan Pajak atau PNBP. Kecurigaan itu disampaikan lantaran disetujuinya pembangunan kawasan penataan parlemen bersamaan dengan pembahasan revisi UU tersebut.
"Ini merupakan penyogokan pemerintah kepada DPR untuk menggolkan undang-undang (PNBP) yang akan bikin susah rakyat," lanjut kata Rizal.
Rizal mengatakan, bahwa usulan RUU PNBP ini sengaja dibahas secara diam-diam untuk tidak diketahui publik. Salah satunya dengan membebankan pungutan kepada masyarakat ketika mendapat pelayanan publik.
"Kalau rakyat tahu bahwa dia mau kawin kena biaya lagi, mau cerai kena biaya, mau rujuk kena biaya. Universitas mau melakukan akreditasi, pendidikan harus bayar lagi, uang pangkal harus bayar lagi, pungutan-pungutan, uang semester harus bayar lagi juga fasilitas kesehatan," ujarnya.
Lebih lanjut, kata dia, pemerintah seharusnya menekan perusahaan besar dibanding memungut komponen biaya pelayanan publik kepada rakyat.
Padahal, selama ini ia melihat, penarikan pungutan yang sifatnya resmi dari komoditas unggulan belum terserap secara maksimal.
"Padahal ada cara kok. Fokus sama sumber daya alam, migas, non migas, nikel, batu bara, Freeport. Itu akan berkali-kali dapatnya dari pada ngumpulin uang kecil yang didapat dari pendidikan, kesehatan yang sebetulnya hak rakyat, dimana tugas negara wajib menyediakan ya secara gratis," kata dia.
Baca: APBN 2018 Disahkan, Ada Anggaran untuk Gedung Baru DPR
Sebelumnya Anggota Badan Legislasi DPR, Rieke Diah Pitaloka, mengatakan sedianya revisi UU ini sudah diajukan sejak tahun 2012. Namun, dalam prosesnya selalu mandek, hingga akhirnya pada tahun ini kembali dinisiasi pemerintah dan menjadi prioritas program legislasi nasional (prolegnas).
Ia berharap, kepada pemerintah dan Dewan membuka kepada publik untuk berdiskusi dalam pembahasan perubahan aturan ini.
"Publik harus dilibatkan tidak boleh yang namanya legislasi itu dibuat dengan diam-diam atau sembunyi," kata dia.