Menkumham Minta Polemik Kata 'Pribumi' Anies Disudahi
- VIVA.co.id/Zahrul Darmawan
VIVA – Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly, menanggapi pidato Gubernur baru DKI Jakarta, Anies Baswedan, usai dilantik Senin lalu, yang menyebut kata “pribumi” sehingga menimbulkan perdebatan publik. Namun, Yasonna berharap pidato Anies itu tak dijadikan polemik karena ada agenda penting bagi DKI, yaitu membangun Jakarta.
Yasonna menyebut penggunaan kata pribumi memang sejak zaman Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie melalui Instruksi Presiden Nomor 26 tahun 1998 telah dihilangkan. Kemudian, kata pribumi juga sudah dihilangkan dalam UU anti diskriminalitas.
"Sudahlah, kita sudahi polemik. Sekarang mari kita sebagai warga Jakarta bersama-sama membangun Jakarta, ini penting. Jangan kita buat kegaduhan baru singsingkan lengan, kerja keras, banyak kerjaan Jakarta yang belum selesai," kata Yasonna di komplek parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu, 18 Oktober 2017.
Dia juga berharap agar pidato Anies tak seperti yang dimaksudkan pihak yang mempersoalkan. Meski secara pribadi, ia juga menyesalkan penggunaan kata pribumi tersebut.
"Soal itu kita menyesalkan kita harap sudahlah mungkin tidak seperti apa yang dimaksudkan," lanjut Yasonna.
Sebelumnya, dalam pidatonya, Anies Baswedan memang menyinggung kata pribumi. Tapi, bukan berhadap-hadapan dengan non pribumi melainkan maksudnya era kolonialisme. Dia mengingatkan bila bangsa ini sudah lama ditindas oleh kolonialisme.
Berikut sebagian kutipan pidato Anies di Balai Kota, Jalan Medan Merdeka Selatan, usai dilantik menjadi Gubernur DKI, 16 Oktober 2017.
Dulu kita semua pribumi ditindas dan dikalahkan. Kini telah merdeka, kini saatnya menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Jangan sampai Jakarta ini seperti yang dituliskan pepatah Madura. Itik telor, ayam singerimi. Itik yang bertelor, ayam yang mengerami.
Kita yang bekerja keras untuk merebut kemerdekaan. Kita yang bekerja keras untuk mengusir kolonialisme. Kita semua harus merasakan manfaat kemerdekaan di ibu kota ini. Dan kita menginginkan Jakarta bisa menjadi layaknya sebuah arena aplikasi Pancasila.
Jakarta bukan hanya sekedar kota, dia adalah ibukota maka di kota ini Pancasila harus mengejawantah, Pancasila harus menjadi kenyataan. Setiap silanya harus terasa dalam keseharian. Dimulai dari hadirnya suasana ketuhanan di setiap sendi kehidupan ibukota. Indonesia bukanlah negara berdasarkan satu agama. Namun Indonesia juga bukan sebuah negara yang alergi agama apalagi anti agama. Ketuhanan selayaknya menjadi landasan kehidupan warga dan kehidupan bernegara sebagaimana sila pertama Pancasila. Ketuhanan Yang Maha Esa.
(ren)