PSI Sebut Pidato Anies 'Devide et Impera' Model Baru
- VIVA.co.id/ Fajar Ginanjar Mukti
VIVA.co.id – Partai Solidaritas Indonesia (PSI) mengecam pidato Anies Baswedan yang disampaikan saat upacara pelantikannya sebagai Gubernur DKI Jakarta. Menurut PSI, apa yang disampaikan oleh Anies Baswedan adalah politik 'devide et impera' model baru.
Partai Solidaritas Indonesia Wilayah DKI Jakarta menyampaikan kecaman dan kekecewaan mereka pada pilihan kata 'pribumi' yang digunakan Anies. Menurut Wakil Ketua PSI Wilayah Jakarta Rian Ernest, apa yang disampaikan oleh Gubernur Anies Baswedan tidak mencerminkan jiwa kepemimpinan dan Bhinneka Tunggal Ika.
"PSI Jakarta sebagai partai yang tampil membela toleransi di wilayah ibukota negara, menggarisbawahi ketidakpantasan Anies Baswedan sebagai kepala daerah yang baru dilantik dalam menggunakan istilah pribumi," ujar Rian, melalui siaran pers PSI yang diterima VIVA.co.id, Selasa, 17 Oktober 2017.
Saat menyampaikan pidato pelantikan sebagai Gubernur DKI Jakarta, Senin, 16 Oktober 2017, Anies menyampaikan, “Rakyat pribumi ditindas dan dikalahkan oleh kolonialisme. Kini telah merdeka, saatnya kita jadi tuan rumah di negeri sendiri. Jangan sampai terjadi di Jakarta ini apa yang dituliskan dalam pepatah Madura, “Itik se atellor, ajam se ngeremme.” Itik yang bertelur, ayam yang mengerami. Seseorang yang bekerja keras, hasilnya dinikmati orang lain.”
Rian mengungkapkan, berdasarkan sejarah Indonesia, labelisasi “pribumi” dilakukan oleh Belanda dengan tujuan membeda-bedakan perilaku dan hak di antara warga yang hidup dan tinggal di Indonesia. "Di bangku Sekolah Dasar, kita mengenal hal ini sebagai devide et impera, atau praktek politik pecah belah. Belanda membedakan warga Indonesia menjadi Golongan Eropa, Timur Asing, dan Pribumi," kata Rian yang sempat menjadi staf Ahok untuk bidang hukum .
Rian juga mengingatkan, penggunaan kata pribumi sering ditemui semasa peristiwa Mei 1998, dan juga semasa kampanye Pilkada DKI 2017 lalu. Menurutnya, “pribumi” digunakan pada masa-masa krusial dalam politik untuk menciptakan tensi.
PSI juga menyoroti kapasitas Anies yang merupakan lulusan PhD (Doctor of Philosophy) — setingkat S3 di bidang Ilmu Politik dari Amerika, mantan rektor termuda Indonesia yang menjabat di Universitas Paramadina, pendiri Gerakan Indonesia Mengajar yang pluralistis, juga mantan Menteri Pendidikan di Kabinet Kerja.
Anies Baswedan sendiri pernah dicap sebagai salah satu intelektual yang mencitrakan diri sebagai “tokoh pluralis” dan cinta keberagaman. Ini terlihat dari keaktifan Anies mendirikan beberapa gerakan sosial yang mengajak anak-anak muda terlibat dengan landasan pemikirannya soal “Tenun Kebangsaan." Rian menyesalkan istilah usang ini keluar dari mulut Anies Baswedan, Gubernur DKI Jakarta dan tokoh pluralis.
Rian mengingatkan Anies yang dahulu pernah menggagas “Tenun Kebangsaan”. Menurut Anies saat itu, Republik ini dirancang untuk melindungi setiap warga negara. Ia mengilustrasikan Republik ini sebagai sebuah tenun kebangsaan yang dirajut dari kebhinnekaan suku, adat, agama, keyakinan, bahasa, geografis yang sangat unik. Kekerasan atas nama apapun akan merusak tenun tersebut. "Sekarang, Anies sendiri yang malah merobek tenun tersebut," kata Rian.
Apalagi, mantan Presiden Habibie pernah mengeluarkan instruksi agar penggunaan istilah 'pribumi' dan 'non-pribumi' dihentikan. Melalui Instruksi Presiden RI No 26 Tahun 1998, Habibie memerintahkan untuk “Menghentikan penggunaan istilah Pribumi dan Non-pribumi dalam semua perumusan dan penyelenggaraan kebijakan, perencanaan program, ataupun pelaksanaan kegiatan penyelenggaraan pemerintahan.”
PSI Jakarta menyampaikan kecamannya atas pernyataan soal pribumi Anies melalui tiga pernyataan sikap:
Poin Pertama. PSI Jakarta tidak sepakat dengan Anies Baswedan yang menggunakan istilah pribumi. Sebuah istilah usang zaman kolonial, yang sering didaur ulang untuk politik praktis dan membangkitkan tensi antargolongan di Indonesia. Yang lebih memprihatinkan adalah istilah usang ini keluar dari mulut Anies Baswedan sendiri, Gubernur DKI Jakarta dan tokoh pluralis.
Anies juga tidak seharusnya mendiskreditkan kata "pribumi", karena jika ditelaah dari sejarah — nenek moyang bangsa Indonesia sendiri berasal dari berbagai wilayah di luar Nusantara. Pemetaan DNA dari Lembaga Eijkman menunjukkan tak ada etnis sepenuhnya murni asli penghuni nusantara sejak ribuan tahun lalu. Kata "pribumi" yang ada di Indonesia lebih bersifat politik dibanding genetik.
Kakek Anies sendiri, AR Baswedan adalah keturunan Arab yang sempat berjuang melawan Belanda melalui medium tulisan di koran bernama Tionghoa, “Sin Tit Po”. AR Baswedan juga adalah pendiri Partai Arab Indonesia, yang didirikan pada 1934, atau enam tahun sesudah Sumpah Pemuda. Pada masa kolonial Belanda. Kakek Anies yang keturunan Arab juga termasuk di dalam golongan Timur Asing. Bukan golongan pribumi, jika maksudnya adalah orang Indonesia asli.
Poin Kedua.Di mata PSI Jakarta, Anies sudah mengingkari janjinya sendiri bahkan di hari pertama menjabat. Anies-Sandi berjanji akan menjadi pemimpin untuk semua kalangan, tapi bukannya merajut kembali tenun kebangsaan yang sudah dikoyak dalam Pilkada, Anies seperti ingin melanjutkan konflik SARA di Jakarta di bawah kepemimpinannya.
Poin Ketiga. PSI Jakarta berpandangan bahwa Anies harus bekerja dengan bukti, bukan dengan bangkitkan hal usang yang membangkitkan intoleransi di bumi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Bukan dengan mencari-cari musuh yang tidak ada. Bukan dengan membuat devide et impera model baru. Semenjak merdeka, seluruh bangsa Indonesia sudah menjadi raja di rumahnya sendiri. Saatnya kita fokus bekerja mengisi kemerdekaan itu. Melunasi Janji Kemerdekaan, yang dahulu pernah digaungkan dari mulut Anies sendiri. Melunasi Janji Kemedekaan, di mana setiap warga negara mendapatkan perlindungan dan tidak mendiskriminasikan satu sama lain.
PSI berharap Anies tidak menjadi pemimpin kolonial, seperti Belanda dahulu memecah belah Nusantara dengan politik devide et impera, mengkotak-kotakkan orang berdasarkan suku, agama, ras dan mengadu domba untuk terus berkuasa. (mus)