Gerindra Tengarai Gelagat Tak Baik Pemerintah di RUU Pemilu

Senin, 17 Juli 2017 - 20:23 WIB

Oleh :

Mohammad Arief Hidayat,

Wakil Ketua DPR, Fadli Zon.

Sumber :

VIVA.co.id/Lilis Khalis

VIVA.co.id - Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon menengarai gelagat tak baik pemerintah dalam pembahasan Rancangan Undang - Undang Pemilu.

Lima isu krusial yang salah satunya dalam perdebatan tajam tentang ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold disebut sebagai salah satu faktornya.

Pemerintah berkukuh bahwa pencalonan presiden mesti mendapat dukungan 20 persen suara parlemen dan 25 persen suara nasional.

"Jelas, kok, arahnya ini mau dibikin semacam calon tunggal. Partai-partai (koalisi pemerintahan) itu mau membikin calon tunggal. Kalau pun ada, ya, boneka saja. Dan saya kira itu tidak bagus bagi demokrasi," kata Fadli di kompleks Parlemen, Jakarta, pada Senin, 17 Juli 2017.

Mengacu pada putusan Mahkamah Konstitusi yang menyebutkan bahwa Pemilu 2019 dilaksanakan serentak, seharusnya ambang batas presiden tak lagi relevan.

Fadli mengatakan, partai koalisi pemerintahan terlalu percaya diri untuk mengajukan Joko Widodo kembali sebagai presiden.

Sebab, kekuatan koalisi pemerintah kini bertambah dengan masuknya Partai Golkar, Partai Amanat Nasional, dan Partai Persatuan Pembangunan.

Ketiga partai itu dalam Pilpres 2014 terbentuk dalam Koalisi Merah Putih (KMP) yang semula menjadi oposan di awal pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla.

Baca Juga :

Bantah Setujui Dihentikan, Demokrat: Revisi UU Pemilu Harga Mati

"Dulu ada koalisi besar, KMP-KIH (Koalisi Indonesia Hebat). Tetapi koalisi itu sudah tidak ada lagi. Kemudian sekarang pemerintah berusaha menggalang koalisi yang sebesar-besarnya dengan suara parpol threshold yang mau dikuasai, didominasi, sehingga nanti tidak ada calon lain," kata Wakil Ketua DPR itu.

Perombakan kabinet

Baca Juga :

Mengintip Penyebab Prolegnas Prioritas 2021 Belum Ditetapkan DPR

Sebelumnya, Ketua DPD PDI Perjuangan Jawa Barat, TB Hasanuddin, menyatakan isu perombakan kabinet atau reshuffle bakal dilakukan Presiden Jokowi dalam waktu dekat.

Ia meyakini, ada salah satu partai pendukung yang telah mendapatkan kursi kabinet dianggap tak loyal pada pemerintah.

Baca Juga :

Komisi II DPR Sepakat Tidak Lanjut Bahas Revisi UU Pemilu

Hal itu tak terlepas dari sikap Partai Amanat Nasional yang menentang usulan pemerintah dalam RUU Pemilu dan penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tentang Organisasi Kemasyarakatan.

"Daripada jadi duri dalam daging, mending terus terang saja membuat garis siapa yang akan dihadapi dalam Pilpres 2019. Reshuffle harus dilakukan bulan Juli ini atau tidak sama sekali," katanya pada Sabtu, 15 Juli 2017.