Komisi Aparatur Sipil Negara Didesak Usut Sekjen DPD RI
VIVA.co.id – Dua anggota Dewan Perwakilan Daerah RI, Nurmawati Dewi Bantilan (Sulawesi Tengah) dan Muhammad Asri Anas (Sulawesi Barat), menagih tindak lanjut dugaan pelanggaran kode etik dan perilaku Sekretaris Jenderal (Sekjen) DPD RI, Sudarsono Hardjosoekarto, karena telah menahan dana reses sejumlah anggota DPD.
Kedua senator itu kembali mendatangi Kantor Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) di Jalan MT Haryono, Pancoran, Jakarta, Selasa, 23 Mei 2017.Â
Nurmawati bersama M. Asri Anas sebelumnya telah mendatangi Kantor KASN untuk melaporkan Sekjen DPD Sudarsono Hardjosoekarto, Jumat, 5 Mei 2017. Karena merasa belum ada tindak lanjut, keduanya kembali mendatangi kantor KASN.Â
Mereka menilai, laporan dugaan pelanggaran kode etik dan perilaku ini seharusnya masuk prioritas kasus yang ditangani KASN. "Sebab, kasus ini menyangkut sebuah lembaga negara yang sedang mengalami konflik akibat kepemimpinan yang tidak sah," kata Nurmawati.
Dalam laporannya, kedua legislator ini mengungkapkan, sebagai aparatur sipil negara, Sekjen DPD seharusnya bertugas memfasilitasi dan mendukung kerja-kerja kelembagaan DPD. Bukan sebaliknya.
Sejumlah tindakan Sekjen dinilai telah melanggar aturan perundang-undangan dan kode etik ASN, sebagaimana diatur dalam UU No 5 Tahun 2014.
"Padahal, menurut UU ASN, bersikap netral, profesional dan taat pada perintah hukum adalah kode etik mendasar yang harus dijalankan oleh seorang pejabat tinggi pemerintah," kata Nurma.
Sementara itu, Asri Anas menilai, Sekjen sebagai ASN telah ikut berpolitik dan berpihak pada pimpinan DPD yang tidak sah, Oesman Sapta Odang (OSO).
Menurutnya, Sekjen mestinya taat kepada putusan MA yang telah mengukuhkan kepemimpinan DPD selama 5 tahun, yakni GKR Hemas dan Farouk Muhammad.Â
"Merekalah pimpinan DPD yang legitimate dan mesti ditaati Sekjen. Tapi Sekjen justru ikut pada arus kekuasaan politik. Akhirnya ikut-ikutan mendukung dan memberikan pelayanan pada pimpinan yang tidak sah (Oesman Sapta Odang)," ujarnya.
Pelanggaran etik lain, disebutkan Anas, misalnya ikut "mengatur" agar Wakil Ketua MA Suwardi, melakukan pelantikan pada OSO. Tindakan pelantikan OSO dkk ini sekarang sedang digugat di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta.
Ketidaktaatan Sekjen pada perintah putusan MA ini, lanjut Anas, akhirnya melahirkan pelanggaran kode etik dan tidak profesional lain. Misalnya, mengunci pintu ruangan sidang yang akan digunakan oleh pimpinan DPD yang sah dan anggota DPD yang tak mau mengakui kepemimpinan OSO.
Pelanggaran terbaru, kata Anas, yakni menahan dana reses yang menjadi hak anggota DPD untuk berkomunikasi dengan masyarakat di daerah. "Ini kebijakan diskriminatif dan menunjukkan premanisme birokrat. Sekjen sebagai ASN benar-benar telah dimanfaatkan oleh pimpinan DPD yang tidak sah," tegas Anas.
Agar pelanggaran-pelanggaran lain tidak terus terjadi, kedua legislator itu mendesak KASN segera menindaklanjuti laporannya. Meminta KASN menonaktifkan jabatan Sekjen DPD dan memberikan sanksi tegas atas pelanggaran yang dilakukannya.Â
Alasan tahan dana reses
Sekjen DPD, Sudarsono Hardjosoekarto, menjelaskan salah satu alasan kebijakan dana reses sejumlah senator ditahan, yakni persoalan rendahnya absensi anggota dalam menghadiri rapat. Usulan penahanan dana reses ini dimunculkan saat rapat panmus sebelum paripurna.
"Ini muncul dalam rapat panmus di pagi hari dan laporan dari Badan Kehormatan DPD. Banyak kegiatan alat kelengkapan seperti mengundang menteri, yang hadir harusnya 33 orang, tapi hanya ada 15 orang," kata Sudarsono, Jumat, 12 Mei 2017.
Ia meyakini, kebijakan menahan dana reses akan menjadi pendorong anggota DPD untuk hadir rapat. Instrumen kendali keuangan ini dianggap efektif menjadi pendorong absensi anggota.
"Ternyata ada instrumen keuangan yang cukup potensial. Dan itu berkembang seiring pengalaman dan diputuskan dalam forum tertinggi. Ini bergerak menjadi pedoman administrasi. Saya melihat justru ini akan mengokohkan penguatan internal," kata Sudarsono. (ren)
Â