Dipimpin Oso, Lembaga DPD Dinilai Makin Ngawur
- ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari
VIVA.co.id – Lembaga Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dikritik karena konflik internal terus berlanjut tanpa ada penyelesaian. Tertahannya dana reses anggota DPD yang tak akui kepemimpinan Oesman Sapta Odang hanya rangkaian masalah di lembaga senator tersebut.
Pengamat Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus heran dengan kejadian yang terjadi di DPD. Bukannya ada kemajuan dalam menyelesaikan konflik, namun justru makin jauh dari solusi.
"Saya kira ini cara-cara aneh DPD versi Oso yang membuat DPD akan semakin cepat menuju kehancurannya. Mestinya pendekatan dialog, musyawarah mufakat yang dikedepankan ketika menghadapi masalah, bukan malah mengancam, mengintimidasi," kata Lucius dalam pesan singkatnya, Sabtu, 13 Mei 2017.
Dia menekankan reses merupakan kewajiban yang harus dilakukan setiap anggota dewan. Tak ada aturan yang menjadi syarat jika anggota menghadiri paripurna penutupan masa sidang maka dana reses bisa cair.
Begitupun tak ada aturan kalau mau dana reses cair maka harus tanda tangan persetujuan terhadap pimpinan dewan. "DPD itu lembaga tinggi negara, bukan gerombolan preman berdasi. Ini makin ngawur," tutur Lucius.
Lucius mengkritisi peran Sekretariat Jenderal DPD yang terkesan memainkan politik administrasi dengan menahan dana reses. Ia melihat pihak Oso yang sengaja melibatkan Sekjen untuk mengintimidasi para senator yang menolak kepemimpinan Oso.
"Keberhasilan tekuk Sekjen dan jajahannya membuka peluang mendapatkan legitimasi minimal dengan rekayasa-rekayasa administratif," tuturnya.
Dalam aturan, setiap anggota dewan itu dalam undang-undang memiliki hak mendapatkan dana reses, tanpa alasan penahanan, terkecuali tersangkut kasus pidana.
"Dari sudut itu, sangat keliru membuat penahanan dana reses yang dilakukan Panitia Rumah Tangga dan Sekjen DPD dan direstui Oso selaku pimpinan," ujarnya.
Pemerintah diminta membuat regulasi baru terkait kepemimpinan lembaga Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Lemahnya regulasi dinilai jadi persoalan kisruh DPD yang saat ini terjadi.
Regulasi lemah
Pengamat dari Koordinator Parliament Wacht Jawa Timur Umar Sholahudin menilai rangkap jabatan Oesman Sapta Odang sebagai Ketua DPD dan Ketua Umum DPP Hanura jadi buktinya.
"Pelantikan Oso merusak demokrasi. Posisinya sebagai Ketua Umum DPP Hanura dinilai jadi pokok masalah karena lemahnya regulasi yang buka peluang politikus pasang kaki di kamar senator," ujar Umar Sholahudin di Surabaya, Jumat, 12 Mei 2017.
Dalam aturan undang-undang, menurutnya jelas tak ada larangan politikus merangkap jabatan Ketua DPD. Regulasi yang lemah dan adanya banyak celah membuat potensi dimanfaatkan penyalahgunaan.
Perbaikan regulasi ini lebih penting ketimbang menyoroti etika rangkap jabatan yang dijalankan Oso.
Dengan regulasi saat ini, kata dia, seseorang bisa bermain dua kaki untuk memenuhi kepentingan tertentu. Politikus bisa menancapkan pengaruh politiknya di DPR sekaligus DPD.
"Karena itu kami mendesak pemerintah membuat regulasi baru soal DPD," katanya.
Seperti diketahui, kisruh pimpinan DPD berujung penahanan dana reses senator yang tak mengakui kepemimpinan Oso. Sejumlah anggota DPD mengaku belum mendapatkan dana reses karena tak menandatangani surat pernyataan dukungan ke Oso saat paripurna penutupan masa sidang, Selasa, 9 Mei 2017.
Sementara, Oso mengatakan belum cairnya dana reses sejumlah senator karena aturan yang disahkan lewat paripurna. Ia membantah jika aturan ini merupakan putusannya.
Namun, Oso menegaskan, tertahannya dana reses ini sebagai sanksi disiplin terhadap para anggota DPD.
"Itu disiplin. Kalau umpamanya kerja, kau tak laporkan hasil kerja ini, terus uangnya kau ambil, benar enggak itu," tutur Oso di Istana Negara, Jakarta, Jumat, 12 Mei 2017. (ase)