Tahan Dana Reses, Sekjen DPD Mainkan Politik Administrasi
- VIVA.co.id/ Reza Fajri.
VIVA.co.id – Penahanan dana reses sejumlah anggota Dewan Perwakilan Daerah menuai kontroversi. Penahanan disebut-sebut karena sejumlah anggota DPD itu tidak mendukung kepemimpinan Oesman Sapta Odang. Salah satu anggota DPD Afnan Hadikusumo mempertanyakan hal itu.
"Tidak ada keterkaitan antara reses dengan dukungan kepemimpinan (DPD) periode 2017-2019. Sebagaimana diatur di UU MD3, bahwa reses adalah kewajiban anggota legislatif untuk menyampaikan hasil pembangunan daerah dan menyerap aspirasi daerah masyarakat. Adapun haknya adalah berupa anggaran penunjang pelaksanaan reses," kata Afnan ketika dihubungi VIVA.co.id, Jumat, 12 Mei 2017.
Afnan juga mempertanyakan dalih Kesekjenan yang menyebut ditahannnya dana itu karena ada anggota DPD yang tidak mengikuti sidang paripurna penutupan masa sidang. Seharusnya, kata Afnan, Sekjen DPD bisa bersikap lebih netral lagi.
"Jika ada dua pihak yang sedang konflik, maka Sekjen harus menjadi pihak yang netral dan melayani kedua pihak itu sampai dengan ada penyelesaian di antara keduanya," ujar Afnan.
Afnan menilai Sekjen sudah jauh masuk dalam ranah politik di DPD. Menurut Afnan, penahanan dana reses tersebut adalah politik administrasi yang dijalankan oleh Sekjen.
"Mengenai keuangan DPD, termasuk reses yang ditahan itu, bukan soal tertib administrasi, tapi lebih pada politik administrasi yang coba dimainkan. Dana reses adalah mutlak hak anggota, dan dalam 13 tahun DPD berdiri enggak pernah ada pernyataan-pernyataan seperti ini," kata Afnan.
Berdasarkan sumber internal DPD yang enggan disebut namanya, dana reses DPD sendiri dicairkan sebanyak empat kali dalam setahun. Jumlah dananya disebut relatif dan tergantung lamanya reses, dengan paling banyak yakni sekitar 144 juta per reses.
Tak ikut sidang
Sekjen DPD RI Sudarsono Hardjosoekarto sebelumnya memberikan klarifikasi atas ditahannya dana reses anggota DPD, yang tak mau mengakui Oesman Sapta Odang sebagai pimpinan DPD.
Sudarsono mengatakan persoalan tersebut berhubungan dengan keputusan sidang paripurna terkait penyempurnaan Surat Edaran Panitia Urusan Rumah Tangga Dewan Perwakilan Daerah (SE-PURT DPD) Nomor DN.170/10/DPDRI/IV/2017.
Sampai saat ini, ada 103 anggota yang menandatangani pernyataan tersebut, dan sisanya 27 anggota belum menandatangani dengan beberapa alasan. Baik karena masih di luar kota, atau karena masalah sikap tidak setuju terhadap pelaksanaan sidang paripurna.
Ia menegaskan, dalam sistem kerja, anggota DPD harus mengikuti siklus masa sidang yang disahkan di paripurna, baik pembukaan masa sidang maupun penutupan masa sidang sebelum bekerja di daerah pemilihan.
Sehingga, ketika anggota DPD akan bertugas di daerah pemilihan yang dikenal dengan masa reses, anggota harus mengikuti, atau setidaknya mengakui adanya penutupan masa sidang dalam sidang paripurna.
"Kalau tidak mengikuti (mengakui) sidang paripurna, maka status yang bersangkutan masih menjalankan tugas di Ibu Kota Negara. Dari perspektif tata kelola keuangan menjadi bermasalah, bila di satu sisi anggota menuntut hak melakukan kegiatan reses, sementara tidak mengikuti (mengakui) sidang paripurna penutupan masa sidang," kata Sudarsono.
Menurutnya, keputusan sidang paripurna itulah yang menjadi dasar yuridis Kesekjenan dalam menegakkan tata kelola keuangan yang akuntabel dan bertanggung jawab.
Selanjutnya, menurut Sudarsono, keputusan sidang paripurna itu juga tetap memisahkan antara hak keuangan yang melekat sebagai anggota yang tetap diberikan, dengan hak keuangan reses.
"Anggota yang tidak mengikuti (mengakui) penutupan sidang paripurna tidak berhak meminta dukungan dana reses di daerah pemilihan," kata Sudarsono. (ase)