Mereka yang Mendukung dan Menolak Angket E-KTP
- ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay
VIVA.co.id – Tiga penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi ikut dihadirkan dalam sebuah sidang lanjutan kasus e-KTP di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta. Mereka akan dikonfrontir dengan mantan Anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Hanura Miryam Haryani.
Konfrontasi dilakukan lantaran pada sidang sebelumnya, Miryam yang juga anggota Komisi V DPR itu, mengaku mendapat tekanan ketika diperiksa sebagai saksi dalam kasus tersebut oleh penyidik KPK. Miryam pun mencabut semua berita acara pemeriksaan (BAP) itu.
Dalam kesaksiannya, penyidik KPK, Novel Baswedan, mengungkapkan bahwa Miryam justru ditekan oleh sesama anggota DPR terkait kasus ini. Menurut Novel, ada enam orang anggota DPR yang beri ancaman dan mewanti-wanti Miryam sebelum menjalani pemeriksaan penyidikan di KPK.
"Ada enam, pertama Bambang Soesatyo, Aziz Syamsudin, Desmond J Mahesa, Masinton Pasaribu, Syarifudin Suding. Dan satu lagi saya lupa namanya," kata Novel.
Sementara itu, penyidik KPK lain, Irwan Susanto menguatkan kesaksian Novel. Menurut Irwan, jauh sebelum diperiksa, Miryam dipanggil sejumlah anggota DPR agar tidak memberikan kesaksian yang sebenarnya.
Polemik di persidangan tersebut segera memberikan dampak di luar. Mereka yang disebut-sebut tidak terima dan beberapa di antaranya turut menggulirkan hak angket. Salah satu tujuannya adalah membuka rekaman pemeriksaan Miryam khususnya menyangkut klaim adanya tekanan yang dilakukan sejumlah anggota DPR tersebut.
Sebelumnya, penyebutan nama-nama anggota DPR yang diduga ikut kebagian uang korupsi e-KTP ke publik juga menjadi alasan hak angket perlu digunakan. Tindakan KPK dinilai dapat menggerus kepercayaan masyarakat kepada anggota Dewan. Selain itu juga agar proses kasus itu berjalan adil di hadapan masyarakat.
Respons dari para politikus Senayan pun beragam terkait rencana angket e-KTP tersebut. Ada yang mendukung, menolak, atau masih wait and see. Namun sejauh ini, belum ada sikap resmi dari fraksi-fraksi di DPR. Berikut rinciannya:
Mereka yang mendukung:
1. Fahri Hamzah dari PKS
Politikus Partai Keadilan Sejahtera yang kini menjabat sebagai Wakil Ketua DPR itu menjadi salah satu pihak yang mendukung hak angket KPK terkait kasus e-KTP. Menurutnya, hak tersebut perlu digulirkan.
Ia menduga ada pihak-pihak yang sengaja menyelundupkan keterangan-keterangan tertentu ke dalam berkas dakwaan yang kemudian di bawa ke ruang pengadilan tindak pidan korupsi. Fahri siap mendukung apabila usulan hak angket ini didukung dari mayoritas fraksi di DPR.
"Kalau yang kayak begini-begini ini sebaiknya diangketkan saja. Sebab DPR punya kepentingan dong memperbaiki namanya. Kalau ada teman-teman dari fraksi-fraksi lain ya sudah ayo. Kita sama-sama investigasi menyeluruh deh proses penyelidikan dan semuanya," kata Fahri di Gedung DPR, Senin, 13 Maret 2017.
2. Taufiqulhadi dari Partai Nasdem
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Nasdem, Taufiqulhadi, mengatakan hak angket perlu digunakan karena ada yang tak cocok antara apakah Miryam Haryani atau Novel Baswedan yang benar soal penyebutan nama anggota DPR terkait kasus E-KTP.
Ia menjelaskan masalahnya dalam hal ini bukan soal nama-nama yang disebut, tapi ia tidak ingin KPK menjadi sewenang-wenang. Kalau hari ini kesewenangan tersebut bisa dilakukan pada orang lain, maka tak menutup kemungkinan juga bisa terjadi padanya.
Ia mengaku telah mengkonfirmasi sejumlah anggota komisi III yang kabarnya namanya disebut dalam kasus E-KTP. Mereka mengatakan tak ada kepentingan sama sekali.
"Kalau nanti menolak akan terjadi konflik antar-institusi negara, tidak boleh menolak hal itu kalau diminta lembaga seperti DPR. Kalau bukan DPR yang lakukan pengawasan, lembaga mana lagi? Ingat, KPK tidak ada lembaga lain yang awasi. KPU ada Bawaslu, eksekutif ya atau lembaga lain semua ada penyeimbangnya," kata Taufiqulhadi, Selasa, 25 April 2017.
3. Desmond J Mahesa dari Partai Gerindra
Wakil Ketua Komisi III DPR ini merasa terzalimi karena namanya ikut terseret dalam kasus Kartu Tanda Penduduk Elektronik atau E-KTP. Namun, dia mengaku tidak bisa melakukan tindakan hukum terhadap Miryam S Haryani atau Novel Baswedan atas dugaan pencemaran nama baik.
Oleh karena itu, Desmond berpandangan langkah paling arif dan bijaksana ketika penggalan rekaman yang berkaitan dengan penyebutan namanya dibuka. Terlebih, dia menilai soal rekaman itu bukan urusan Miryam.
Permintaannya untuk membuka rekaman bukan untuk intervensi ataupun ingin melemahkan KPK. Oleh karena itu, dia termasuk yang setuju adanya hak angket untuk kasus tersebut.
"Maka hak angket itu sebenarnya pertama membuka. Kedua bicara tentang ketidakpatuhan KPK, temuan BPK tentang penggunaan anggaran. Ada beberapa item," kata Desmond di Gedung DPR, Jakarta, Selasa, 25 April 2017.
Mereka yang menolak:
1. Dadang Rusdiana dari Partai Hanura
Sekretaris Fraksi Hanura, Dadang Rusdiana, menyatakan Fraksi Hanura di DPR tak akan mendukung usulan hak angket e-KTP. Usulan hak angket dinilai sebagai upaya menarik ke ranah politik.
"KPK tentunya terus akan menindaklanjuti fakta-fakta yang nanti muncul di persidangan. Kalau Hanura berpandangan lebih baik kita menghormati proses hukum yang ada," kata Dadang di Senayan, Jakarta, Rabu, 15 Maret 2017.
Menurut Dadang, jika masalah e-KTP ditarik ke ranah politik melalui hak angket maka akan memunculkan kecurigaan dari masyarakat. Dikhawatirkan hak angket justru dinilai sebagai upaya DPR melindungi sejumlah elit politik yang diduga menikmati fee e-KTP.
"Ini tentu yang harus dipikirkan dari usulan hak angket tersebut. Jadi itu yang harus kita hindari," lanjut Anggota Komisi X DPR itu.
Terkait ada tuduhan konflik kepentingan Ketua KPK dalam kasus e-KTP, ia meyakini KPK akan tetap bersikap profesional.
"Kami masih percaya profesionalitas KPK," sebut Dadang.
2. Arsul Sani dari PPP
Sekretaris Jenderal Partai Persatuan Pembangunan yang juga anggota Komisi III, Arsul Sani, menyatakan hak angket korupsi e-KTP terhadap KPK tidak perlu digulirkan. Menurutnya, untuk mengkritisi KPK, cukup dengan rapat kerja Komisi III DPR.
"Hak angket, saya pribadi enggak perlu. Untuk mempertanyakan penyelidikan, penyidikan KPK itu bukan dengan hak angket. Itu bisa satu, paling lazim melalui raker Komisi III dengan KPK. Ya, dikritisi habislah, harus terbuka, ini bukan intervensi ya," kata Arsul di Gedung DPR, Jakarta, Rabu 15 Maret 2017.
Arsul menuturkan, dalam raker itu juga bisa ditanyakan apakah KPK punya cukup bukti dugaan keterlibatan anggota dewan dalam korupsi proyek dengan total nilai anggaran Rp5,9 triliun tersebut.
Namun dia sepakat jika KPK harus dikritisi atas proses penuntasan korupsi yang merugikan negara senilai Rp2,3 triliun. Sebab, KPK menyebut ada puluhan anggota DPR yang diduga ikut menikmati uang haram itu.
Meskipun demikian, pada Kamis, 20 April 2017, Arsul mengatakan penggunaan hak angket DPR tak hanya akan digunakan untuk persoalan e-KTP yang menyangkut 6 nama anggota Komisi III DPR yang disebut dalam kesaksian penyidik KPK. Namun juga terkait laporan hasil pemeriksaan (LHP) kepatuhan 2015 Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terhadap KPK.
"Dalam LHP, BPK sampaikan temuan pada DPR, paling tidak 7 indikasi pelanggaran atau ketidakpatuhan terhadap perundangan-undangan yang terkait dengan pengelolaan anggaran di KPK. Ini rencananya juga akan jadi bagian materi dari rencana hak angket yang dinisiasi Komisi III," kata dia.
Mereka yang Abu-abu:
1. Agus Hermanto dari Demokrat
Politikus Partai Demokrat yang juga menjabat sebagai Wakil Ketua DPR itu memang tidak menyatakan dukungannya secara jelas terkait hak angket KPK dalam kasus e-KTP. Namun, dia menegaskan bahwa hak itu sangat penting.
"Apakah ini harus dengan hak angket? Itu adalah hak yang ada pada anggota dewan sehingga tidak tergantung pada pimpinan saja," kata Agus di Gedung DPR, Senin, 13 Maret 2017.
Agus menjelaskan dalam persoalan ini, pimpinan akan terlebih dahulu menjaring kesepakatan dengan para anggota DPR yang lain. Jika sudah ada komunikasi, maka akan diproses dengan perwakilan seluruh fraksi di DPR.
"Sehingga nanti yang diambil adalah akumulatif. Apakah ini disetujui dari pimpinan fraksi dan anggota lainnya. Jadi memang hak angket itu yang mempunyai kewenangan itu anggota DPR," lanjut politikus Demokrat itu.
2. Aria Bima dari PDIP
Meskipun tidak jelas menolak, politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Aria Bima, mempertanyakan keseriusan usulan hak angket e-KTP. Ia ragu hak angket ini hanya sekedar wacana yang tak ada realisasi.
Aria membandingkan hak angket terkait Pilkada atau soal Ahok 'Gate' yang tak jelas arahnya. Menurutnya, DPR jangan hanya berwacana seperti yang sebelumnya.
"Yang ini saja belum jelas soal hak angket Pilkada atau soal Ahok," kata anggota Komisi VI DPR itu di Senayan, Rabu, 15 Maret 2017.
Kemudian, Aria mengaku dirinya termasuk salah seorang yang aktif untuk usulan hak angket. Namun, hak angket ini selalu kandas termasuk ketika di forum paripurna.
3. Junimart Girsang dari PDIP
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi PDIP Junimart Girsang mengatakan fraksinya membebaskan anggota mengambil sikap dalam usulan angket kasus e-KTP.
"Fraksi bersikap silakan saja memgambil sikap, jadi Fraksi nggak pernah memerintah tentang a atau b," kata Junimart di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Kamis 27 April 2017.
Komisi III memang telah memutuskan usulan angket ini dan mengajukannya ke pimpinan DPR. Para anggota Komisi III pun telah menandatangani usulan hak angket tersebut.
Namun menurut Junimart, penandatanganan itu bukan berarti seluruh anggota mendukung angket itu. "Semua anggota Komisi III menandatangani hak angket tersebut bukan berarti Komisi III setuju," katanya.
4. Agus Gumiwang dari Partai Golkar
Sekretaris Fraksi Partai Golkar Agus Gumiwang mengatakan Fraksinya tidak dalam posisi mendukung usulan. Namun tidak akan menghalangi adanya usulan ini.
"Silakan memakai (hak angket) atau tidak memakai. Kalau ada teman fraksi yang sudah tanda tangan tidak masalah, kami tidak akan berikan sanksi, karena kami mengerti apabila ada keinginan dari mereka untuk mendapat jawaban yang diinginkan," kata Agus.
5. Bambang Soesatyo dari Partai Golkar
Ketua Komisi III DPR yang juga dari Golkar, Bambang Soesatyo, tidak mengungkapkan sikapnya secara tegas. Ia hanya menjelaskan penggunaan hak angket terhadap KPK telah diputuskan dalam RDP antara Komisi III dengan KPK.
"Hak angket adalah hak yang melekat pada setiap anggota DPR. Namun, kewenangan penggunaan hak angket tersebut ada pada pimpinan (kebijakan) fraksi masing-masing," kata Bambang, Selasa 25 April 2017.
Ia menambahkan Komisi III dalam RDP dengan pimpinan KPK memang telah mengambil keputusan untuk menggunakan hak tersebut. Namun disetujui atau tidak sangat tergantung pada pengambilan keputusan di sidang paripurna yang dihadiri 560 anggota (bisa voting atau aklamasi).
5. Fadli Zon dari Partai Gerindra
Wakil Ketua Umum Partai Gerindra itu mengatakan bahwa partainya masih mengkaji terlebih dahulu wacana usulan hak angket kasus korupsi kartu tanda penduduk atau e-KTP terhadap KPK.
"Kami (Gerindra) wait and see, kami lihat dahulu sejauh mana, kami dalami dahulu," ungkap Fadli di Gedung DPR, Jakarta, Kamis 16 Maret 2017.
DPR sendiri menggelar sidang paripurna pada Kamis 27 April 2017 ini. Agenda mengenai pembacaan usulan hak angket kasus e-KTP belum akan dilakukan dalam paripurna hari ini. Kemungkinan setelah rapat paripurna, mereka akan melaksanakan rapat Bamus, apabila surat usulan sudah ada. (ase)