Dikritik Minim Peran, DPD Harus Bebas dari Parpolisasi
- ANTARA FOTO/Yudhi Mahatma
VIVA.co.id – Peran Dewan Perwakilan Derah dinilai selama 13 tahun belum optimal sebagai lembaga negara, sehingga ada usulan agar lebih baik dibubarkan. Salah satu alasannya, karena puluhan anggota DPD yang lompat menjadi kader partai politik.
"Ini berbahaya implikasinya," kata Direktur Komite Pemantau Legislatif, Syamsudin Alimsyah di Cikini, Jakarta, Minggu 12 Maret 2017.
Syamsudin menjelaskan, syarat anggota DPD diatur dalam pasal 22 (e) Undang Undang Dasar 1945. Disebutkan, bila anggota DPD merupakan seorang perwakilan daerah.
Dibandingkan dengan kondisi saat ini, DPD menjadi pertanyaan karena sikap anggotanya, seperti Oesman Sapta Odang yang menjadi Ketua Umum DPP Hanura. Kemudian, beberapa anggota DPD disebut menjadi pengurus Hanura.
Kata Syamsudin, cita-cita pembentukan DPD dilandasi semangat pembangunan berdasarkan otonomi daerah. Ketika masa sebelum reformasi, ada ancaman disintegrasi. Hal ini, karena ketidakseimbangan antara pemerintah pusat dan daerah.
"DPD dilahirkan sebagai lembaga penghubung persoalan yang susah ditembus dan menjadi ketimpangan di daerah. Jadi kalau orangnya parpol juga di DPD maka mandat DPD tidak berjalan optimal," lanjutnya.
Ia mengkritisi senator yang duduk di kursi DPD seharusnya representasi rakyat di suatu daerah. Berbeda dengan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang meski dipilih rakyat maka tetap menjadi representasi partai politik.
"Apalagi (di DPD) ada ketua umum parpol, maka berbahaya. Cara pandang bergeser, yang mestinya menyuarakan daerah, akan dimaknai politis," ujarnya.
Diharapkan, anggota DPD harus terbebas dari kepengurusan partai politik. Dengan hal ini, peran DPD sebagai penyampai aspirasi daerah dan penyeimbang di DPR MPR bisa berjalan optimal.
"Apalagi, ada wacana untuk memberi kewenangan lebih pada DPD dalam menetapkan suatu undang-undang. Jangan sampai ini terparpolisasi," katanya. (asp)