Ketua DPR: Hak Angket Ahok Tak Perlu Tergesa-gesa
- ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan
VIVA.co.id - Hak angket terkait pengangkatan kembali Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta masih akan ditindaklanjuti. Namun, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat, Setya Novanto, menilai proses ini ini tidak perlu terburu-buru.
"Kalau hak angket ini saya rasa kita tidak perlu tergesa-gesa. Kita perlu melihat beberapa hal," kata Novanto di Gedung DPR, Selasa 21 Februari 2017.
Selain perlu mendengar pandangan dari anggota-anggota lain, status Ahok dari segi hukum juga masih ingin diketahuinya. Menurut dia, sebaiknya semua pihak mengutamakan itu.
"Karena situasi sekarang ini kan semuanya lebih baik supaya berjalan tenang," ujar Novanto.
Setelah melalui Rapat Pimpinan (Rapim), usulan hak angket dibawa ke rapat Badan Musyawarah (Bamus) terlebih dulu, untuk dijadwalkan di paripurna nanti. Novanto enggan berandai-andai apakah usulan ini bisa diterima di Bamus atau Paripurna.
"Kan kita belum lihat. Nanti lihat perkembangan," kata Novanto.
Para Fraksi pengusul hak angket terkait pengangkatan kembali Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta resmi menyerahkan draf usulan kepada pimpinan DPR. Wakil Ketua DPR, Fadli Zon, menerima draf tersebut.
Draf usulan hak angket baru bisa diajukan, jika telah mendapat persetujuan 25 anggota DPR dan dua Fraksi. Namun, draf yang diserahkan tadi telah ditandatangani oleh 22 anggota Fraksi Gerindra, 42 anggota Fraksi Demokrat, 10 anggota Fraksi PAN, dan 16 anggota Fraksi PKS.
Sebelum dibawa ke Sidang Paripurna, pimpinan DPR akan memproses usulan melalui Rapim DPR. Setelah itu, usulan ini kemudian dirapatkan di Bamus.
Sebanyak empat Fraksi menyatakan setuju dengan usulan hak angket tersebut. Mereka yakni Partai Demokrat, Partai Gerindra, Partai Keadilan Sejahtera, dan Partai Amanat Nasional.
Para inisiator hak angket itu menilai ada pelanggaran terhadap Undang-undang Nomor 23 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 83 ayat 1 dan ayat 3. Mereka ingin menguji sebuah pelanggaran yang dilakukan pemerintah yang tidak memberhentikan Ahok sebagai gubernur.
Berikut ini bunyi pasal tersebut:
1) Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah diberhentikan sementara tanpa melalui usulan DPRD karena didakwa melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun, tindak pidana korupsi, tindak pidana terorisme, makar, tindak pidana terhadap keamanan negara, dan/atau perbuatan lain yang dapat memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
2) Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah yang menjadi terdakwa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberhentikan sementara berdasarkan register perkara di pengadilan.
3) Pemberhentian sementara kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan oleh Presiden untuk gubernur dan/atau wakil gubernur serta oleh Menteri untuk bupati dan/atau wakil bupati atau wali kota dan/atau wakil wali kota.
Sementara itu, Jaksa Penuntut Umum mendakwa Ahok dengan Pasal 156a KUHP atau Pasal 156 KUHP tentang penistaan atau penodaan agama. Dakwaan tersebut merupakan dakwaan alternatif ditandai dengan kata 'atau'.
Alternatif pertama yaitu Pasal 156A KUHP dengan kualifikasi penodaan agama saat terdakwa kunjungan kerja ke Kepulauan Seribu. Sedangkan, alternatif kedua Pasal 156 KUHP.
Pasal 156a
Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan: a. yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia; b. dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apa pun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Pasal 156
Barangsiapa di muka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. Perkataan golongan dalam pasal ini dan pasal berikutnya berarti tiap-tiap bagian dari rakyat Indonesia yang berbeda dengan suatu atau beberapa bagian lainnya karena ras, negeri asal, agama, tempat, asal, keturunan, kebangsaan atau kedudukan menurut hukum tata negara. (ren)