Mendagri Sudah Kirim Surat ke MA Soal Fatwa Ahok
- VIVA.co.id/Moh. Nadlir
VIVA.co.id – Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo mengakui telah menyampaikan surat kepada Ketua Mahkamah Agung, M. Hatta Ali, untuk mengeluarkan fatwa terkait dasar hukum pengaktifan kembali Basuki Tjahja Purnama alias Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta walau sedang menjadi terdakwa atas kasus penodaan agama di Pengadilan Negeri Jakarta Utara.
Hanya saja, lanjut Tjahjo, karena Hatta sedang ada rapat maka pihaknya terpaksa menitipkan surat ke Sekretariat Mahkamah Agung.
"Tadinya saya mau menyerahkan langsung. Tapi, Bapak Ketua sedang rapat paripurna MA. Maka surat saya tinggalkan di sekretariat," ujar Tjahjo, di Kantor Presiden sebelum mengikuti rapat kabinet, Jakarta, Selasa, 14 Februari 2017.
Kata Tjahjo, surat itu hanya menyampaikan permohonan agar MA mengeluarkan fatwa.
"Kami mohon keluarkan fatwa MA terkait apakah kebijakan yang saya ambil kemudian munculnya berbagai pendapat berbeda maupun yang sama," ujar Tjahjo.
Tjahjo mengatakan, sebagai wakil pemerintah langsung mengembalikan jabatan Gubernur DKI Jakarta kepada Ahok, setelah masa cuti pilkada usai. Sebab, Pemerintah menunggu tuntutan pengadilan terhadap Ahok.
Hal ini melihat dakwaan sebagaimana yang register di pengadilan negeri. Di mana, Ahok baru akan dijerat pasal 156 dan 156 (a) KUHP.
"Dakwan itu masih ada alternatif pasal ini atau alternatif pasal ini. Dua pasal yang ada alternatif ini ancaman lima tahun dan di bawah lima tahun," kata Tjahjo.
Menurut Tjahjo, keputusan yang diambilnya juga sudah melalui tahapan di Biro Hukum Kemendagri. Namun keputusan tersebut mengundang polemik di DPR dan para pemerhati hukum.
"Saya menghormati pendapat DPR, menghormati pendapat pakar hukum yang berbeda dengan saya, maka kami melaporkan kepada Presiden. Presiden mengarahkan ya sudah yang tertinggi ini adalah MA," tuturnya.
Mengenai apakah MA akan segera mengeluarkan fatwa yang diminta oleh presiden, Tjahjo belum bisa memastikan.
"MA mau mengeluarkan atau tidak menunggu pengadilan, atau diserahkan ke pengadilan, atau diserahkan ke Kemendagri. Ya saya hanya menyampaikan saja. Saya tak minta harus kapan, harus apa," katanya.
Perbedaan persepsi mengenai status Ahok muncul setelah pemerintah mengaktifkan kembali sebagai Gubernur Jakarta pada Minggu, 12 Februari 2017. Ahok diaktifkan kembali setelah masa cuti kampanye selesai.
Hanya saja, karena Ahok berstatus terdakwa dalam kasus dugaan penistaan agama, maka menurut sebagian pihak, seharusnya diberhentikan atau nonaktif. Akibat kejadian ini, sejumlah fraksi di DPR mengusulkan hak angket.
Para inisiator hak angket menilai ada pelanggaran terhadap terhadap Undang-undang Nomor 23 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 83 ayat 1 dan ayat 3. Mereka ingin menguji sebuah pelanggaran yang dilakukan pemerintah yang tidak memberhentikan Basuki Tjahaja Purnama sebagai gubernur.
Sebanyak empat Fraksi menyatakan setuju dengan usulan hak angket tersebut. Mereka yakni Partai Demokrat, Partai Gerindra, Partai Keadilan Sejahtera, dan Partai Amanat Nasional.
Usulan hak angket digulirkan, karena dinilai ada pelanggaran terhadap Undang-undang Nomor 23 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 83 ayat 1, ayat 2 dan ayat 3. Berikut ini bunyi Pasal tersebut:
1) Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah diberhentikan sementara tanpa melalui usulan DPRD karena didakwa melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun, tindak pidana korupsi, tindak pidana terorisme, makar, tindak pidana terhadap keamanan negara, dan/atau perbuatan lain yang dapat memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
2) Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah yang menjadi terdakwa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberhentikan sementara berdasarkan register perkara di pengadilan.
3) Pemberhentian sementara kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan oleh Presiden untuk gubernur dan/atau wakil gubernur serta oleh Menteri untuk bupati dan/atau wakil bupati atau wali kota dan/atau wakil wali kota.
Sementara itu, Jaksa Penuntut Umum mendakwa Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dengan Pasal 156a KUHP atau Pasal 156 KUHP tentang penistaan atau penodaan agama. Dakwaan tersebut merupakan dakwaan alternatif ditandai dengan kata 'atau'.
Alternatif pertama yaitu Pasal 156A KUHP dengan kualifikasi penodaan agama saat terdakwa kunjungan kerja ke Kepulauan Seribu. Sedangkan, alternatif kedua Pasal 156 KUHP.
Pasal 156a
Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan: a. yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia; b. dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apa pun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Pasal 156
Barangsiapa di muka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap suatu atau beherapa golongan rakyat Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. Perkataan golongan dalam pasal ini dan pasal berikutnya berarti tiap-tiap bagian dari rakyat Indonesia yang berbeda dengan suatu atau beberapa hagian lainnya karena ras, negeri asal, agama, tempat, asal, keturunan, kebangsaan atau kedudukan menurut hukum tata negara.
(ren)