Rhoma Irama Tak Setuju Ada Ambang Batas Presiden
- VIVA.co.id/ Anwar Sadat
VIVA.co.id - Ketua Umum Partai Islam Damai Aman (Idaman) Rhoma Irama mengaku tidak masalah dengan parliamentary treshold atau ambang batas parlemen 3,5 persen. Rhoma mengaku siap dengan persaingan pada Pemilu selanjutnya.
"Parliamentary threshold 3,5 persen, insya Allah kami sudah siap secara infrastruktur. Kader-kader kami dan suporter kami siap. Tidak menutup kemungkinan kalau teman-teman mau lebih (dinaikan PT-nya)," kata Rhoma di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Rabu 8 Februari 2017.
Namun, mengenai presidential threshold, dia tidak sepakat dengan usulan di Pansus, yaitu hanya partai dengan perolehan suara 25 persen di Pemilu 2014 yang bisa mencalonkan presiden.
"Saya dengar wacana bahwa partai baru bersabar tidak mengusulkan capres, tapi nanti 2024. Tolong sampaikan kepada pembuat RUU bahwa itu sama sekali tidak berlandaskan konstitusi," ujar dia.
Pelantun lagu 'Begadang' ini menyatakan semua warga negara punya hak yang sama untuk memilih dan dipilih. Apalagi dalam Pemilu 2019 dilakukan serentak antara Pemilu Legislatif dengan Presiden.
"Kalau parliamentary threshold masih make sense (masuk akal) diberlakukan. Tapi kalau presidential threshold acuannya dari mana? Karena secara teknis pemilihannya dilakukan secara serentak. Hal yang sangat absurd dipaksakan," kata Rhoma.
Seperti diketahui, Panitia Khusus (Pansus) Rancangan Undang-Undang Pemilihan Umum menggelar Rapat Dengar Pendapat Umum dengan sejumlah partai baru, Rabu 8 Februari 2017. Salah satunya yakni Partai Solidaritas Indonesia yang menyampaikan masukan mengenai sejumlah isu di RUU Pemilu.
Ketua Umum PSI Grace Natalie mendorong presidential threshold atau ambang batas presiden sebesar 0 persen. Hal itu sesuai dengan Pasal 6 ayat 2 di Undang-Undang Dasar 1945, calon presiden diajukan oleh partai politik atau gabungan parpol.
"Artinya kalau sudah disahkan jadi partai peserta pemilu, sudah lolos verifikasi, sudah sama di mata hukum," kata Grace di Gedung DPR, Senayan, Jakarta.
Selain itu, Grace juga menilai tidak relevan jika Pemilu Presiden 2019 harus berpijak pada hasil Pemilu Legislatif 2014. Hasil Pemilu-Pemilu sebelumnya disebut bisa kedaluwarsa, jika dikaitkan dengan fakta yang terjadi saat ini. (ase)