Wakil Ketua DPR Ingin Jokowi Terbitkan Perppu Penyadapan
VIVA.co.id - Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, Fahri Hamzah, meminta Presiden Joko Widodo membuat Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) tentang penyadapan. Permintaan ini menyusul isu penyadapan atas percakapan antara Susilo Bambang Yudhoyono dan Ketua Majelis Ulama Indonesia, KH Ma’ruf Amin, yang disinggung tim pengacara Basuki Tjahaja Purnama dalam lanjutan sidang kasus penistaan agama di Pengadilan Negeri Jakarta Utara Selasa lalu.
Fahri menilai, persoalan penyadapan sudah darurat. Tidak hanya karena berkembang pesatnya teknologi dan metode penyadapan, tapi karena ada juga lembaga-lembaga negara yang melakukan penyimpangan dalam penggunaan alat sadap.
"Kalau Pak Jokowi mau, lanjutkan saja itu Peraturan Pemerintah (PP) tentang penyadapan yang ditolak Mahkamah Konstitusi (MK), kemudian bikin Perppu. Sekarang karena ini darurat," kata Fahri di kompleks Parlemen di Jakarta pada Kamis, 2 Februari 2017.
Di banyak negara demokrasi, kata Fahri, penyadapan hanya boleh dilakukan lembaga intelijen dan atas pertimbangan hukum. "Pencuri resmi tetapi tidak boleh ketahuan, namanya lembaga intelijen, dia boleh menyadap siapapun. Pak Jokowi menyadap seluruh elite Indonesia tidak ada masalah. Tapi jangan ketahuan karena itu hanya boleh dipakai oleh Pak Jokowi," ujarnya.
Dalam Undang-Undang Intelijen hanya Presiden yang boleh mendengar dan menjadi pengguna hasil perbincangan seseorang yang disadap.
"Karena itu, intelijen harus hati-hati dengan datanya jangan sampai bocor. Karena itu kalau terjadi jual-beli data di dalam intelijen itu perlu kita waspadai. Intelijen asing bisa beli atau tembak dari luar," kata Fahri.
Menyadap dibolehkan juga demi kepentingan hukum tetapi tetap harus atas izin pengadilan. "Setelah dapat (izin pengadilan) mesti izin: mana yang boleh dibuka dan mana yang tidak boleh dibuka hasil penyadapannya," katanya. (ren)