Soal Ambang Batas Parlemen dan Presiden, DPR Belum Kompak
VIVA.co.id – Wakil Ketua DPR Agus Hermanto mengatakan, pimpinan menyerahkan sepenuhnya pembahasan mengenai ambang batas parlemen dan ambang batas presiden ke Panitia Khusus (Pansus) RUU Pemilihan Umum. Dia yakin, tiap fraksi akan berkoordinasi dengan perwakilannya di Pansus.
"Sekarang ini Pansus sedang berjalan, kita harus beri kesempatan kepada Pansus. Dan Pansus pada saat ini menjadi hal krusial, dan lain-lain pasti akan dibicarakan pada tingkatan yang lebih tinggi," kata Agus di Gedung DPR, Senayan, Jakarta Pusat, Kamis 17 Januari 2017.
Saat ini, aspirasi terkait dua ambang batas itu masih beragam. Ada yang mengusulkan agar ambang batas parlemen yang semula 3,5 persen dinaikkan. Ada juga yang meminta agar ambang batas itu dibuat nol persen. Aspirasi beragam itu termasuk dalam pembahasan ambang batas presiden.
Ketua DPP Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Andreas Hugo Pareira menilai, angka ambang batas parlemen yang ideal adalah 5-6 persen. Sementara untuk ambang batas presiden, pihaknya menilai angka 20 persen cukup representatif untuk para partai politik.
"Angka 20 persen adalah angka yang cukup representatif untuk memberikan ruang pada parpol maupun bakal calon yang akan diusung menjadi Capres atau Cawapres," ujarnya melalui pesan tertulis.
Sementara itu Partai Golkar menginginkan adanya kenaikan ambang batas parlemen. Namun Ketua DPP Golkar Zainuddin Amali tidak memastikan kenaikan angkanya. Sementara untuk ambang batas presiden, dia sepakat mempertahankan angka yang sebelumnya.
"Golkar tetap harus ada (presidential) threshold ya. Cuma soal berapa seperti usulan pemerintah," ujar Amali.
Sebelumnya, anggota dewan asal Partai Gerindra, Ahmad Riza Patria mengatakan, bahwa Gerindra ingin agar ambang batas parlemen dan ambang batas presiden diperkecil bahkan hingga nol persen. Gerindra, kata dia, ingin mengedepankan demokrasi dalam keterwakilan.
"Indonesia bangsa luas. Ada pesan Prabowo (Ketua Umum Gerindra), jangan mematikan partai yang ada. Kita penting memperkuat presidensial namun penyederhanaan partai bukan satu-satunya cara memperkuat sistem presidensial," ujarnya.
(mus)