Perludem: Pemberantasan Politik Uang Temui Jalan Buntu
- VIVA.co.id/Putri Firdaus
VIVA.co.id – Dalam catatan akhir tahun 2016 oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), politik uang menjadi salah satu catatan penting yang menjadi sorotan. Perludem menganggap perubahan Undang-undang (UU) Pilkada dari UU Nomor 8 tahun 2015 menjadi Undang-undang Nomor 10 tahun 2016 pada Juni lalu justru berindikasi melegalkan praktik politik uang.
Meskipun dalam UU Nomor 10 tahun 2016 memberikan penyempurnaan pada UU sebelumnya berupa sanksi pada penyelenggara politik uang, namun dalam penjelasan UU Nomor 10 tersebut, perbuatan memberikan uang kepada pemilih dengan alasan untuk makan, transportasi dan hadiah justru dapat memutihkan mereka dari sanksi berat politik uang.
"Padahal teori sederhana dalam melakukan politik uang adalah memberikan uang tunai (fresh money) kepada pemilih dalam suasana pemilihan dengan alasan apapun adalah bentuk politik uang," ujar Fadli Ramadhanil, peneliti Perludem di Cikini, Jakarta Pusat, Kamis, 29 Desember 2016.
Politik uang ini juga menimbulkan prilaku pemilih yang mulai banyak meminta uang pada kandidat atau peserta pemilihan. Oleh karenanya, dalam UU Pilkada terbaru ini dimuat pemberian sanksi pada penerima uang.
Namun, Perludem memandang bahwa pemberian sanksi pada penerima juga harus diikuti oleh pendidikan politik dan sosialisasi yang memadai tentang adanya sanksi berat penerima politik uang dalam UU Pilkada yang baru. Ini agar sanksi pidana menjadi sanksi tertinggi setelah melakukan berbagai upaya pencegahan.
"Ini menjadi suatu jalan buntu di tengah semangat pemberantasan politik uang yang dilakukan," kata dia.