Pidana 5 Tahun Bagi Lajang Berzina, Panja RUU KUHP Terpecah
- Eko Priliawito| VIVAnews
VIVA.co.id – Fraksi Dewan Perwakilan Rakyat di Panitia Kerja Revisi Kitab Undang-undang Hukum Pidana memperdebatkan persoalan pidana menyangkut persetubuhan yang dilakukan perempuan dan laki-laki tanpa ikatan pernikahan yang sah.
Pasal pidana tersebut tercantum dalam Pasal 484 ayat 1 poin (e) RUU KUHP. Disebutkan, perbuatan zina, akan dipidana penjara paling lama lima tahun. Khusus poin (e), laki-laki dan perempuan yang masing-masing tidak terikat dalam perkawinan yang sah melakukan persetubuhan.
Meski ada pemidanaan atas persetubuhan tanpa terikat perkawinan yang sah, pidana baru berlaku ketika ada aduan. Delik aduan atas poin (e) tersebut diatur dalam Pasal 484 ayat (2). "Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat 1 tidak dilakukan penuntutan kecuali atas pengaduan suami, istri, atau pihak ketiga yang tercemar. Untuk frasa pihak ketiga yang tercemar, Panja meminta agar hal itu diperjelas."
Terhadap pasal ini, sejumlah fraksi punya pandangan berbeda-beda. Ketua Panja RUU KUHP, Benny K. Harman menyimpulkan, terdapat tiga fraksi yang meminta pasal ini dihapus, yaitu Fraksi Golkar, PDIP, dan Hanura. Adapun tujuh fraksi lainnya, ingin pasal ini dipertahankan.
"Nanti kita laporkan ke komisi. Poin ini ditunda karena tiga fraksi ingin dihapus dan tujuh fraksi tetap. Ini sensitif. Menyangkut publik," kata Benny dalam rapat RUU KUHP bersama pemerintah di gedung DPR, Jakarta, Rabu, 14 Desember 2016.
Anggota Panja RUU KUHP dari Fraksi Golkar, Adies Kadir, mengatakan poin ini menyebutkan frasa 'perkawinan sah'. Dia menilai, perkawinan sah itu mesti diperjelas maksudnya, menurut negara atau sah berdasarkan ketentuan lain.
"Ada yang sah secara agama dan adat. Kita khawatir nanti akan over kriminalisasi terhadap perkawinan adat dan lainnya. Kalau Golkar hapus," kata Adies pada kesempatan sama.
Adapun fraksi yang menginginkan pasal ini dipertahankan salah satunya adalah PPP. Anggota Panja RUU KUHP dari Fraksi PPP, Arsul Sani, menilai para perumus aturan ini, khususnya dari pemerintah, pasti mempertimbangkan aspirasi kepentingan umat Islam. Apalagi berbicara RUU KUHP juga harus dilihat dari perspektif yuridis, sosiologis, dan filosofis.
"Ini delik aduan. Tidak delik biasa. Ini kita coba tempatkan karena ini bukan tindak pidana biasa tapi delik aduan," kata Arsul usai rapat.
Dia menambahkan, mengenai perkawinan yang sah, sudah diatur dalam Undang-Undang Perkawinan. Sehingga disebut perkawinan sah apabila telah sesuai agama dan kepercayaan.
"Tapi kalau mau diperjelas dalam penjelasan silakan. Tapi PPP minta pasal ini tak dihilangkan," kata Arsul.
Senada dengan Arsul, Anggota Panja RUU KUHP dari Fraksi PKS, Nasir Djamil, menyatakan sepakat dengan usulan pemerintah dan meminta pasal ini dipertahankan.
Menurutnya persetubuhan di luar nikah antara perempuan dan laki-laki lajang harus diatur. Sebab dia khawatir ketika ditemukan kasus seperti ini, masyarakat malah main hakim sendiri.
"Kami sepakat dengan usulan pemerintah dan harus kita pertahankan," kata Nasir.
Rapat kemudian memutusian untuk menunda pembahasan pasal ini, agar bisa dibahas kembali di masing-masing fraksi. Setelah itu, rencananya Panja akan menjadwal ulang pembahasan mengenai Pasal 484 ayat 1 poin e, yang belum disepakati ini.