Fahri: Sebelum Ada Indonesia, Sudah Ada Ormas-ormas

Wakil Ketua DPR, Fahri Hamzah.
Sumber :

VIVA.co.id - Wakil Ketua DPR, Fahri Hamzah, menanggapi keinginan pemerintah untuk menertibkan organisasi masyarakat, atau ormas melalui revisi Undang Undang Ormas. Sehingga, ormas yang dinilai anti Pancasila bisa lebih mudah dibubarkan.

Pengamat Ingatkan Pemerintah Harus Antisipasi Penyebaran Paham Khilafah saat Pilkada

"Pemerintah tak boleh pusing dengan banyaknya kelompok masyarakat. Indonesia memiliki tradisi kelembagaan swadaya masyarakat, jauh sebelum negara ada," kata Fahri di Gedung DPR, Jakarta, Jumat 9 Desember 2016.

Ia mencontohkan, sebelum Indonesia lahir misalnya sudah ada Budi Oetomo, Serikat Dagang Islam, dan perkumpulan lainnya. Sehingga, pemerintah tak perlu pusing dengan tingkat keswadayaan yang tinggi.

Kata Gerindra soal Penghapusan Utang Petani-Nelayan

"Ini negara kita, negara voluntir yang luar biasa. Coba kalau tak ada lembaga volunti,r memang bisa negara urus keadaan rakyat sendiri? Ada yang urus orang miskin, disabilitas, macam-macam," kata Fahri.

Menurutnya, tak perlu menyamaratakan dan menyeragamkan ormas. Sehingga, biarkan saja dengan karakternya sendiri. Sebab, dalam UU Ormas juga sudah diatur mana kategori ormas yang melanggar aturan, atau tidak.

Aktivitas Retno Marsudi Usai Tak Menjadi Menlu, Isi Seminar Bicara Pancasila Pemersatu Bangsa

"Itu saja ditegakkan. Yang sering membingungkan, apakah boleh ada lembaga swadaya masyarakat ambil tindakan justisia seperti penegakan hukum, menyegel, menggrebek, menggeledah. Itu pada dasarnya tak boleh. Tindakan penegak hukum hanya boleh dilakukan penegak hukum," kata Fahri.

Ia mencontohkan, pihak termasuk ormas yang bukan penegak hukum tindakannya disebut ilegal ketika melakukan tindakan penegakan hukum. Adapun hukumannya juga telah ada pasalnya.

"Jangan ada kesan pemerintah bingung dengan begitu banyaknya ormas. Banyaknya ormas, nasib kita bangsa Indonesia. Tak bisa disederhanakan. Tugas kita kelola keberagaman yang luar biasa ini. Jangan asas tunggal. Itu kan pikiran saja," kata Fahri.

Menurutnya, ketika kembali ke asas tunggal sama saja ingin kembali ke zaman Orde Baru yang otoriter. Sebab, hanya otoritarianisme yang menyederhanakan pemerintahan. Tapi cara berpikir tersebut dianggap sebagai kemunduran.

"Ujungnya, kita mau bilang, berarti dulu Pak Harto benar dong. Ya sudah, kembali saja ke yang lama. Angkat diktator. Rezim suruh militer. Tembakin orang kalau salah, tak perlu ada proses hukum. Kita tak mau. Kita mau demokratis," kata Fahri. (asp)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya