Perampungan UU Dinilai Tak Bisa Dipatok Masa Sidang
VIVA.co.id – Anggota Badan Legislasi (Baleg) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Arsul Sani mengatakan, kinerja anggota dewan tidak bisa diukur semata-mata dengan melihat periode tepat waktu dalam pembahasan Undang Undang (UU).
Menurut dia, selalu ada rancangan UU yang memerlukan pembahasan panjang dengan kompleksitas tersendiri seperti Rancangan Undang Undang (RUU) KUHP.
"Pemerintah aja nyiapin drafnya 30 tahun. Ketika kemudian Panja rancangan KUHP udah bisa nyelesain 218 pasal buku satu setahun aja, udah hebat," kata Arsul di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa 25 Oktober 2016.
Kemudian dia juga mencontohkan RUU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang sangat menarik perhatian masyarakat sehingga membuat elemen masyarakat atau instansi terkait perlu memberikan masukan.
"Bukan hanya masyarakat, instansi pemerintah yang terkait kami minta masukannya. Yang kami lihat ternyata yang disampaikan instansi-instansi pemerintah suaranya enggak satu," ujar Politikus PPP ini.
Sementara soal usulan agar masa reses dipersingkat agar DPR produktif membuat UU, menurut Arsul, hal itu tidak akan banyak berpengaruh. Format masa reses saat ini dinilai sudah pada porsinya.
"Yang harus kami lihat progres sebenarnya dikerjakan apa enggak. Bukan apakah beres di masa sidang," kata Arsul.
Sebelumnya, Wakil Ketua Baleg Firman Soebagyo meminta, tiap komisi untuk konsisten membahas tiap RUU dengan batas maksimal tiga kali masa sidang. Dia menyesalkan banyaknya RUU yang terbengkalai dan lalu berpengaruh terhadap anggaran.
"Tiga kali masa sidang, seharusnya pembahasan RUU berhenti karena DIPA (Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran) kita harus produktif. Jadi tiga kali masa sidang minimal di komisi dua RUU. Tapi dengan perpanjangan empat kali, tujuh kali, pemborosan," kata Firman.
(mus)