Perluasan Definisi Pasal Perzinahan di KUHP Tak Relevan
- U-Report
VIVA.co.id – Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang uji materi pasal perzinahan dalam Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP) dengan agenda mendengarkan keterangan ahli yang dihadirkan oleh Komnas Perempuan pada Senin, 17 Oktober 2016.
Diatur dalam KUHP pasal 284 ayat 1 sampai 5, pengertian zinah hanya terbatas bila salah satu pasangan atau kedua-duanya terikat dalam hubungan pernikahan. Sedangkan hubungan badan yang dilakukan oleh pasangan yang tidak terikat dalam pernikahan tidak diatur dalam pasal tersebut.
Sebelumnya, perluasan definisi ini dilakukan pemohon atas nama Euis Sunarti dan sejumlah pihak yang mengajukan keberatan karena merasa dirugikan hak konstitusionalnya atas berlakunya pasal tersebut.
Namun hari ini, salah seorang ahli yang dihadirkan Komnas Perempuan yang merupakan penghayat keyakinan Sunda Wiwitan, Dewi Kanti Setianingsih menyampaikan keberatannya soal permintaan pemohon. Dia mencontohkan, bahwa sampai saat ini, dirinya belum juga memiliki surat nikah meski telah 14 tahun menjalani rumah tangga. Alasannya, terhambat dalam prosedur administrasi yaitu pernikahannya secara adat tidak diakui oleh negara.
"Sudah 14 tahun belum dicatat negara, yang menikahkan kami bukan tokoh agama. Kami dinikahkan oleh orang tua kami sendiri disaksikan sesepuh adat (Sunda Wiwitan). Itu makanya dianggap tidak legal oleh negara," kata Dewi di hadapan majelis hakim MK yang dipimpin Ketua MK, Arief Hidayat di Gedung MK, Jakarta, Senin 17 Oktober 2016.
Meski aturan pencatatan perkawinan bagi penghayat telah dipermudah namun salah satu syaratnya adalah memiliki dan bergabung di organisasi yang terdaftar resmi di pemerintah. Padahal kata Dewi, tak semua penghayat berorganisasi. Apalagi ditambah fakta bahwa kepercayaan Sunda Wiwitan tidak termasuk dalam agama yang diakui Undang Undang (UU) yang bisa dicantumkan di KTP.
"Masyarakat kami tersebar luas. Untuk bisa bertahan, ada yang pura-pura beragama di KTP, dipaksakan. Tapi ada juga ada yang bertahan sama sekali. Katakanlah yang berani mengambil sikap kurang dari 100 orang," katanya.
Oleh karena itu, menurut Dewi, jika permohonan pemohon Euis Sunarti Cs dalam pasal tersebut dikabulkan maka akan bisa mengancam hak konstitusional para penghayat kepercayaan seperti penghayat kepercayaan Sunda Wiwitan.
"Tidak dicatatkan perkawinan adat oleh negara, sangat rentan untuk dikriminalisasi," ujar Dewi.
Dengan pasal tersebut, para penghayat akan bisa dikelompokkan ke dalam kategori pelaku seks di luar perkawinan karena pernikahannya tidak diakui negara atau tidak masuk dalam UU Administrasi Kependudukan. Meski secara adat, pernikahan tersebut dianggap sah.
"Perzinahan atau seks bebas tidak dikenal di kalangan penghayat kepercayaan Sunda Wiwitan. Sebab penghayat kepercayaan Sunda Wiwitan memegang teguh hukum adat," kata Dewi.
Hukum adat, kata dia, sudah ada jauh sebelum NKRI merdeka dan bahkan sebelum KUHP itu disusun. Hukum adat selayaknya dianggap legal meski tidak diakui dalam hukum positif Indonesia.