Wacana Syarat Capres Harus Pribumi Tidak Relevan
VIVA.co.id – Peneliti senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Siti Zuhro, mengomentari munculnya wacana untuk mengembalikan frasa "orang Indonesia asli", sebagai syarat menjadi calon presiden.
Menurutnya, filosofi pada frasa "orang Indonesia asli" dalam Undang Undang Dasar sebelum diamandemen, menunjukkan semangat kondisi negara yang baru saja merdeka.
"Mungkin kita melihat suasana kebatinannya mengapa itu muncul. Kalau membaca undang-undang dan UUD 1945, pemikiran yang disampaikan pendiri bangsa sangat solid dan dibekali nuansa filosofi kebatinan waktu itu. Karena baru merdeka, tentu kepentingannya adalah pribumi," kata Siti di Gedung DPR, Jakarta, Kamis, 6 Oktober 2016.
Dia menilai, kondisi ini berbeda dengan alasan kemunculan wacana untuk mengembalikan syarat calon presiden harus pribumi.
"Yang terjadi seperti ini sekarang. Bahwa partai-partai bisa dimiliki tidak hanya oleh tentara tapi juga pengusaha. Ada konteks yang membuat bangsa ini, khususnya yang merasa pribumi, terancam," kata Siti.
Saat ditanya mengenai adanya tujuan untuk menggusur tokoh tertentu, dia menilai dalam politik segala sesuatu bisa saja terjadi. Tapi Siti meyakini persoalan ini tak perlu muncul.
"Tidak perlu memajukan masalah yang tak relevan. Karena substansinya bagaimana membangun daerah dan Indonesia supaya maju," ucapnya.
Mengenai syarat menjadi presiden, diatur dalam pasal 6, ayat 1, UUD 1945. Bunyinya yaitu
calon Presiden dan calon Wakil Presiden harus seorang warga negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri, tidak pernah mengkhianati negara, serta mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai Presiden dan Wakil Presiden.
Sebelum adanya amandemen, bunyi dari pasal itu adalah: "Presiden ialah orang Indonesia asli." (ase)