Ahok Sulit Menang Tanpa Menyalahgunakan Kekuasaan
- ANTARA FOTO/Rosa Panggabean
VIVA.co.id – Kepala Bidang Advokasi Dewan Pimpinan Pusat Partai Gerindra, Habiburokhman mengingatkan bahayanya calon petahana, Basuki Tjahaja Purnama, atau Ahok-Djarot Saiful Hidayat pada Pilkada DKI Jakarta 2017 mendatang.
Dengan segudang kewenangan, calon petahana bisa memenangkan kompetisi secara tidak fair.
"Menurut saya, yang harus kita semua pahami adalah, saat ini ada bahaya potensi penyalahgunaan kekuasaan oleh petahana," kata Habiburokhman, saat diskusi dengan tema Pilgub DKI Rasa Pilpres di kawasan Menteng, Jakarta, Rabu 28 September 2016.
Habiburokhman menambahkan, bahaya ini terlihat jelas dengan sikap Ahok yang mendaftarkan uji materiil tentang cuti bagi petahana ke Mahkamah Konstitusi (MK). "Sebelumnya disebutkan petahana harus cuti saat kampanye, namun sulit sekali Panwas (Panitia Pengawas) menyentuh hal itu," ucapnya.
Ia mengungkapkan pengalamannya terkait penyelewengan kekuasaan oleh kepala daerah yang ikut dalam pertarungan pilkada.
"Tahun 2015, saya menjadi kuasa hukum calon yang menantang petahana di Banten kota. Kegiatan seremonial petahana hampir tiap hari dilakukan dengan menggunakan APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah). Hal itu tidak tersentuh oleh pengawas, karena dia sebagai gubernur aktif," ungkapnya.
Dengan kondisi saat ini, Ia berharap, penyelenggara dan pengawas Pilkada DKI Jakarta, mampu menjalankan tugas dengan baik, sehingga calon petahana tidak bisa memanfaatkan kekuasaannya untuk pemenangan.
Selain itu, dari hasil survei yang ada, Habiburokhman menilai elektabilitas dan popularitas, Ahok-Djarot kecenderungannya menurun. "Jadi, bahasa saya, sulit sekali Ahok menang tanpa menyalahgunakan wewenang kekuasaan," tegasnya.
Sebelumnya, Ketua MK Arief Hidayat mengungkapkan bahwa ketentuan cuti bagi petahana, seharusnya tidak menjadi masalah dan tidak perlu sampai digugat ke MK. Menurut Arief, hal tersebut jadi masalah, lantaran tidak didukung kultur yang baik.
"Kalau kulturnya betul, lndonesia tak harus diatur seperti ini, tak ada masalah," kata Arief dalam persidangan di Gedung MK, Jakarta, Senin 26 September 2016.
Arief lantas menyebut bahwa di Indonesia memang selalu terjadi penyimpangan. Kendati sudah ada aturan yang jelas terkait pelarangan penyimpangan itu. Salah satu contohnya adalah terkait ketentuan dalam lalu lintas, yakni aturan dalam lampu merah.
"Sudah jelas lampu merah tidak boleh jalan, kuning hati-hati dan hijau boleh jalan. Tapi gak ada polisi sama saja (melanggar), sepi atau tengah malam. Sehingga, polisi berpikir out of the box dibangun patung polisi, karena masyarakat diatur dengan wajar, tidak bisa," ungkap Arief.
Hal serupa juga berlaku dalam penyelenggaraan pilkada, sehingga lahir aturan yang out of the box terkait cuti petahana itu.
"Ini kan baik untuk jaga kultur perilaku untuk berlaku baik, karena keadaannya abnormal. Selalu, di Indonesia terjadi penyimpangan dalam hal apapun," kata Arief. (asp)