Soal Rehabilitasi, MKD Minta Novanto Ajukan Secara Pribadi
- VIVA.co.id/ Mitra Angelia.
VIVA.co.id – Ketua Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) Sufmi Dasco Ahmad, mengatakan rehabilitasi nama baik Setya Novanto dan jabatan Ketua DPR adalah hal yang berbeda. Dia menyebutkan mekanisme pengusulan pergantian Alat Kelengkapan Dewan (AKD) ada di Fraksi.
"Ya kalau itu kan ada mekanisme sendiri, biar ditanyakan aja ke fraksi. Kita di sini cuma ke etik. Kecuali kalau dulu (Novanto) dijatuhi hukuman (oleh MKD), ya mekanismenya mungkin di MKD," kata Dasco ketika ditemui di ruangan kantornya di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis 15 September 2016.
Dasco mengatakan, ketimbang memakai kata 'rehabilitasi', dia menyarankan Novanto mengajukan keberatan resmi saja kepada MKD, jika memang keberatan dengan proses-proses persidangan terdahulu. Apalagi jika dalam proses terdahulu memakai bukti yang dinyatakan tidak sah.
Namun ia mengingatkan, keberatan atau rehabilitasi itu dilakukan terkait proses persidangan yang dinilai tidak adil, bukan karena Novanto dilengserkan dari Ketua DPR.
"Boleh (ajukan keberatan), tapi harus karena persidangan, yang berdasarkan bukti yang sekarang dinyatakan tidak sah," ujar Dasco.
Kemudian, jika Novanto jadi mengajukan keberatan secara resmi, maka surat itu sebaiknya atas nama Novanto pribadi. Karena, kasus Novanto dinilai adalah pribadi dan tidak terkait Partai Golkar.
"Harus yang bersangkutan. Berarti pribadi. Enggak harus pakai kop Golkar," kata Dasco.
Sebelumnya Fraksi Golkar meminta rehabilitasi nama Setya Novanto atas tuduhan pemufakatan jahat yang pernah disidangkan di MKD. Alasan Fraksi Golkar meminta rehabilitasi sebab Novanto menjadi tertuduh dalam persoalan tersebut, bahkan sampai mengorbankan posisinya sebagai Ketua DPR.
Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan gugatan Novanto terkait frasa “permufakatan jahat” yang dituduhkan kepadanya. Setya Novanto saat menjadi Ketua DPR pernah dilaporkan mantan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said soal pertemuannya dengan Riza Chalid dan mantan Presiden Direktur PT Freeport Indonesia Maroef Sjamsoeddin, yang ditengarai melobi soal kontrak Freeport dengan mencatut nama Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla.
Hal tersebut dilaporkan Sudirman dengan menyertakan bukti rekaman pembicaraan yang dikenal dengan kasus ‘Papa Minta Saham’. Namun dengan dikabulkannya gugatan Setya Novanto oleh MK, diputuskan rekaman yang dijadikan pembuktian harus atas dasar permintaan penegak hukum. Selain itu rekaman pembicaraan juga dianggap bisa melanggar hak asasi orang lain.